Liputan6.com, Jakarta - Kehadiran kecerdasan buatan (AI, Artificial Intelligence) masih terus memicu perdebatan dari para ahli teknologi akibat sejumlah masalah yang timbul.Â
Salah satu masalah yang muncul adalah kecerdasan buatan disalahgunakan untuk membobol sistem perbankan.
Advertisement
Baca Juga
Mark Gazit, CEO dari Theta Ray yang memiliki spesialisasi di bidang risiko Big Data, menjelaskan potensi penyalahgunaan kecerdasan buatan yang dapat merugikan nasabah bank ternyata cukup tinggi.
"Orang di zaman sekarang modusnya tidak akan datang ke bank dan mengancam dengan senjata. Itu mungkin hanya terjadi di film-film Hollywood," ujar Gazit kepada Tech Republic, Sabtu (10/2/2018).
"Mereka bisa saja mendirikan sebuah layanan di suatu tempat di luar Amerika Serikat. Modusnya dengan sebuah program berbasis kecerdasan buatan. Setelah itu, mereka akan menjalankan server dan meretas ke akun nasabah bank," lanjutnya.
Jumlah yang "dicuri" pun tidak perlu banyak-banyak, cukup setengah dolar (sekitar Rp 7.000) di setiap akun agar tidak ada nasabah yang sadar maupun protes.
Gazit juga mengatakan bahwa pelaku dapat dengan mudah mencabut koneksi tautan dan menghilangkan jejak. Bila tidak waspada, bank mungkin baru bisa menyadari tindak kriminal tersebut pada setahun setelahnya.
Peringatan yang disampaikan Gazit tentu disertai bukti kuat. Pada 2016, akun bank sentral Bangladesh di New York Federal Reserve menjadi korban pencurian uang. Total US$ 81 juta (setara dengan Rp 1,1 triliun) dibobol oleh para hacker yang dicurigai berasal dari Korea Utara.
Dengan demikian, Gazit menilai kehadiran kecerdasan buatan bisa memicu tindak kejahatan siber berpotensi lebih tinggi untuk membobol akun para nasabah.
Hacker Korea Utara Membidik Bank di Penjuru Dunia
Selain Bangladesh, hacker dari Korea Utara juga pernah berupaya membobol bank-bank dari negara lain, termasuk Indonesia.
Pada 2017 lalu, ahli keamanan siber internasional Kaspersky Lab menyatakan bahwa operasi peretasan oleh hacker yang menyatakan diri sebagai Lazarus juga menyerang lembaga keuangan di Costa Rica, Ethiopia, Gabon, India, Indonesia, Kenya, Malaysia, Nigeria, Polandia, Taiwan, dan Uruguay.
Menurut ahli dari Kaspersky, ketika ditelusuri, kelompok hacker kembali ke Korea Utara. Untuk menyembunyikan lokasi mereka, para hacker biasanya melancarkan aksi serangan siber dari server komputer yang jauh dari tempat asalnya.
Kaspersky juga menyebut, beberapa lokasi yang kerap dipakai adalah Prancis, Korea Selatan, dan Taiwan.
Walaupun sangat rapi, para hacker itu melakukan satu kesalahan, yakni terdapat bukti bahwa ada koneksi yang datang dari Korea Utara.
Meskipun banyak peneliti di bidang siber yang menuduh Korea Utara sebagai pelakunya, negara tersebut justru terus-menerus membantah tuduhan itu.
Advertisement
Bank Dunia Mempersiapkan Keamanan
Semenjak kelompok hacker Korea Utara semakin ganas mencuri dana nasabah, bank di banyak negara turut berupaya meningkatkan keamanan siber mereka.
Pasalnya, eksistensi hacker dari Korea Utara sudah tidak bisa dianggap enteng. Mereka ditenggarai berperan di belakang hacking yang menimpa Sony Entertainment pada tahun 2014, dan pernah mencoba mencuri US$ 1 miliar dari Federal Reserve Bank of New York.
Aksi tersebut sebetulnya hampir saja berhasil, yang menyebabkan kegagalan para hacker tersebut hanyalah karena ada kesalahan dalam penulisan "foundation" menjadi "fandation" sehingga pihak bank menjadi curiga.
Reuters melaporkan bahwa kelompok hacker dari Korut berhasil membobol ratusan juta dolar dari berbagai bank hanya dalam tiga tahun terakhir.
Untuk mengantisipasi hal ini, Indonesia sendiri sejak Januari 2018 sudah menyiapkan Badan Siber dan Sandi Negara untuk menjaga keamanan siber di Indonesia.
Dalam menjalankan tugasnya, BSSN juga akan bersinergi dengan beberapa instansi yang juga memiliki satuan siber, antara lain adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Badan Intelijen Negara Republik Indonesia (BIN).
(Tom/Jek)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini