Liputan6.com, Jakarta - Amnesty International (Amnesty/Amnesti Internasional) mengklaim Twitter gagal mencegah kekerasan dan pelecehan online terhadap perempuan. Sebaliknya, Twitter justru dinilai menciptakan lingkungan 'beracun' bagi perempuan.
Amnesty dalam sebuah laporan yang dipublikasikan pada Rabu (21/3/2018), mengungkapkan Twitter memberikan respons secara tidak konsisten saat kasus pelecehan disorot, bahkan ketika hal itu melanggar aturannya sendiri. Laporan ini dipublikasikan bertepatan dengan 12 tahun sejak twit pertama Twitter diunggah.
Advertisement
Baca Juga
Dikutip dari The Guardian, Jumat (23/3/2018), organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) itu menuduh Twitter gagal menghormati hak-hak perempuan, dengan tidak bisa menginterpretasikan dan menegakkan kebijakannya untuk mencegah konten beracun atau negatif.
Akibatnya, muncul ancaman pembunuhan, pemerkosaan dan rasis, transphobia serta homophobia terhadap perempuan.
Laporan Amnesty juga berisi survei dengan responden 1.100 perempuan Inggris. Hasilnya, hanya 9 persen berpikir Twitter melakukan cukup upaya menghentikan kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan.
Sementara 78 persen merasa layanan tersebut bukan tempat untuk menyalurkan pendapat mereka tanpa menerima, misalnya, perkataan kasar.
Direktur Amnesty Inggris, Kate Allen, menegaskan Twitter menjadi sebuah tempat beracun untuk perempuan.
"Selama ini, perempuan di Twitter dengan mudah dihadapkan ancaman kematian atau pemerkosaan, serta gender, etnis dan orientasi mereka diserang," ungkap Allen.
Twitter Harus Tegas
Allen menilai orang-orang yang suka menyerang di Twitter berada dalam posisi menguntungkan, karena meski telah berulang kali berjanji, Twitter akhirnya gagal untuk menghentikan mereka.
"Twitter harus mengambil berbagai langkah konkret untuk mengatasi dan mencegah kekerasan dan pelecehan perempuan di platform-nya. Jika tidak, maka klaimnya yang berada di sisi perempuan tidak akan berarti," jelasnya.
Adapun laporan Amnesty ini dibuat berdasarkan wawancara dengan lebih dari 80 perempuan, termasuk politisi, jurnalis dan pengguna biasa di Inggris dan Amerika Serikat (AS).
Publik figur kerap menjadi target penyerangan di Twitter, tapi juga ada pengguna lain yang mengalami pelecehan, terutama jika mereka berbicara soal seksisme atau menggunakan tagar kampanye khusus.
Amnesty juga mendokumentasikan bagaimana perempuan dari etnis atau agama minoritas, Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender dan Intersex (LGBTI), individu non-binary serta disabilitas, kerap menjadi korban pelecehan. Tindakan ini dinilai dapat membuat suara yang sudah terpinggirkan, semakin jauh dari publik.
Advertisement
Twitter Tak Sependapat dengan Amnesty International
Di sisi lain Twitter menyatakan ketikdasetujuannya dengan temuan Amnesty. Twitter beralasan layanannya tidak bisa menghapus kebencian dan prasangka dari masyarakat.
Kendati demikian, Tiwtter mengklaim telah membuat lebih dari 30 perubahan pada platform-nya dalam 16 bulan terakhir untuk membuat keamanan menjadi lebih baik, termasuk bergerak lebih cepat untuk menangani twit yang dinilai melecehkan.
(Din/Isk)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: