Liputan6.com, Washington DC - Steve Bannon yang pernah tergabung di tim sukses Presiden Donald Trump, diketahui sempat menjadi wakil presiden dan sekretaris di Cambridge Analytica dari Juni 2014 hingga Agustus 2016.
Cambridge Analytica sendiri adalah perusahaan analisis data yang terlibat dalam skandal penyalahgunaan puluhan juta pengguna Facebook di Amerika Serikat (AS).
Namun, selama hampir seminggu kasus ini bergulir, pihak Gedung Putih masih cuek. Padahal, setiap hari Trump aktif mencuit beragam hal di akun Twitternya.
Advertisement
Baca Juga
Menurut pantauan Tekno Liputan6.com, situs resmi Gedung Putih tidak membahas isu tersebut, sedangkan Donald Trump hanya mencuit hal-hal yang tidak berkaitan dengan skandal ini.
Contohnya, pada Kamis (23/3/2018) kemarin, Trump malah menyempatkan diri menyebut mantan wakil presiden Joe Biden dengan sebutan "gila" ketimbang membahas kasus Facebook.
Crazy Joe Biden is trying to act like a tough guy. Actually, he is weak, both mentally and physically, and yet he threatens me, for the second time, with physical assault. He doesn’t know me, but he would go down fast and hard, crying all the way. Don’t threaten people Joe!
— Donald J. Trump (@realDonaldTrump) March 22, 2018
"Joe Biden Gila bertingkah seperti jagoan. Sebetulnya dia lemah secara mental dan fisik, tetapi dia mengancamku untuk kedua kalinya dengan serangan fisik. Dia tidak mengenalku, ia akan kalah dengan cepat dan keras sambil menangis. Jangan mengancam orang Joe!" cuit Trump.
Sarah Sanders selaku juru bicara Gedung Putih juga belum sekalipun membahas skandal Facebook dan Cambridge Analytica.
Untuk diketahui, Steve Bannon pernah menjabat sebagai salah satu penasihat Trump di Gedung Putih sebelum akhirnya diberhentikan.
Ia pun pernah menjadi pendiri Breibart News, sebuah media online yang dinilai berpandangan ekstrem dan penuh agenda politik.
Tidak jelas terkait kelanjutan hubungan Trump dan Bannon, tapi pada Januari 2018 sang presiden sempat emosi di Twitter serta menyebut Bannon sloppy (ceroboh) karena diduga membocorkan informasi seorang jurnalis penulis buku Fire and Fury yang isinya mencibir pemerintahan Trump.
Zuckerberg Siap Dipanggil Kongres
Setelah menghilang dalam beberapa hari akibat skandal kebocoran puluhan juta data pengguna Facebook, akhirnya sang CEO Mark Zuckerberg angkat suara lewat pernyataan resmi di Facebook dan wawancara di berbagai media.
Kali ini, pendiri Facebook itu tidak hanya meminta maaf, tetapi juga mengaku siap bila dipanggil oleh Kongres (Majelis Permusyawarahan Rakyat di Amerika Serikat) bila memang diperlukan untuk memberi keterangan.
"Saya terbuka pada hal itu," ucap Zuckerberg seperti yang dilansir oleh Recode.
"Kami sebetulnya cukup sering melakukannya. Ada banyak topik berbeda yang Kongres butuh dan ingin ketahui," tambahnya. Ia juga memastikan pihak Kongres mendapatkan akses informasi yang mereka perlukan.
Zuckerberg turut meminta maaf bila mengecewakan para pengguna Facebook setelah Cambridge Analytica menyalahgunakan 50 juta data yang mereka ambil dari pengguna.
"Kami membuat masyarakat kecewa, dan aku merasa sangat menyesal, dan aku minta maaf tentang hal itu," ucapnya.
Advertisement
Rudiantara Angkat Bicara
Menteri Komunikasi Informatika (Menkominfo) Rudiantara ikut bicara soal bocornya puluhan juta data pengguna Facebook yang dimanfaatkan untuk kepentingan kampanye politik AS pada 2016 lalu.
Rudiantara memperkirakan, tak ada data milik pengguna Facebook di Indonesia yang disalahgunakan.
Kendati demikian, pria berkacamata ini berencana untuk berkoordinasi dengan pihak Facebook guna memastikan bahwa tak ada data pengguna di Indonesia yang ikut bocor.
Rudiantara juga mengungkapkan, Kemkominfo telah menerbitkan Peraturan Menteri Kominfo mengenai perlindungan data pribadi oleh penyelenggara sistem elektronik (PSE) dalam hal ini media sosial, messenger, dan e-Commerce pada akhir 2016.
"Di Indonesia dari sisi aturan pemerintah sudah mengeluarkan peraturan Menteri Kominfo akhir 2016 mengenai perlindungan data pribadi oleh penyelenggara sistem elektronik, Facebook dan media sosial masuk ke PSE itu, yang belum ada UU perlindungan data pribadi," kata Rudiantara.
Pria yang karib disapa Chief RA ini mengatakan, karena belum ada UU perlindungan data pribadi di Indonesia, pihaknya dengan Komisi I DPR RI telah sepakat untuk membuat Panitia Kerja (Panja).
"Pada rapat dengan Komisi I DPR disepakati buat Panja, arahnya nanti ke perlindungan data pribadi," tutur Rudiantara ditemui Tekno Liputan6.com di Kampus Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta.
Rudiantara juga mengungkapkan pentingnya memiliki UU perlindungan data pribadi bagi Indonesia.
"Perlindungan data secara umum di masing-masing UU itu sudah ada, yang khusus adalah (Undang-undang) perlindungan data pribadi, utamanya terkait perkembangan digital. Karena nanti banyak data-data berseliweran, bagaimana melindungi data pribadi tersebut," kata pria yang pernah menjabat sebagai Wakil Direktur Utama PT PLN itu.
(Tom/ )
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: