Liputan6.com, Jakarta - Skandal penyalahgunaan data Facebook oleh konsultan politik Cambridge Analytica berbuntut panjang. Setelah mengumumkan bahwa ada 87 juta data pengguna Facebook di seluruh dunia yang jadi korban, Facebook bakal diboikot.
Dalam laporan The Guardian yang Tekno Liputan6.com kutip pada Minggu (8/4/2018), kampanye pemboikotan Facebook yang bernama Faceblock ini bakal dilakukan bersamaan dengan pernyataan Mark Zuckerberg terkait penyalahgunaan data di depan Congress AS, Rabu 11 April 2018.
Advertisement
Baca Juga
Para pemrotes yang tergabung dalam Faceblock mengajak semua orang untuk ikut protes dengan cara tidak menggunakan aplikasi Facebook, Messenger, WhatsApp, dan Instagram selama 24 jam.
Juru bicara kampanye Faceblock Laura Ullman mengatakan, kelompoknya begitu peduli dengan data pribadi dan bagaimana sebuah perusahaan harus mematuhi regulasi terkait data pribadi.
"Kami mengorganisasi aksi langsung yang melibatkan banyak pecinta Facebook tetapi ingin agar platform tersebut berbenah. Caranya dengan tidak menggunakan platform Facebook selama seharian. Ini merupakan demonstrasi virtual yang mudah dilakukan sekaligus menghadirkan pesan penting, bahwa kami menuntut platform yang lebih baik," kata Ullman.
Ullman menjelaskan, dirinya memilih protes terhadap Facebook dilangsungkan tepat saat Mark Zuckerberg memberi penjelasan di depan Congress AS.
"Merupakan tanggung jawab Facebook untuk memperbaiki platform mereka, tetapi juga merupakan tanggung jawab pemerintah untuk memastikan perusahaan media sosial melindungi data pengguna serta menerapkan regulasi," katanya.
Tuntut Facebook Jadi Platform yang Lebih Baik
Beberapa pengguna sebelumnya telah mempertimbangkan untuk menghapus akun Facebook mereka secara permanen.
Namun demikian menurut Ullman, hal tersebut tidak memungkinkan bagi semua orang, apalagi masih banyak yang menyukai Facebook dan platform-platform lain milik Facebook.
"Tidak semua orang berencana menghapus Facebook. Sejauh ini Facebook telah menciptakan monopoli dan di beberapa negara, satu-satunya upaya mengakses internet adalah lewat Facebook. Bahkan, di sejumlah tempat, seringkali sumber berita hanya berasal dari Facebook," ucap dia.
Menurut Ullman, Facebook juga menjadi platform untuk mengorganisasi komunitas.
"Jadi mengapa orang-orang harus menderita lantaran kebijakan yang buruk dari perusahaan? Mengapa mereka harus berhenti terlibat dengan komunitas karena perusahaan yang belum diatur dengan benar dan menyalahgunakan kepercayaan penggunanya?" kata Ullman.
Menurut Ullman, tidak seharusnya seseorang dipaksa berhenti dari perannya dalam komunitas, padahal kesalahan ada pada Facebook.
Ullman juga mengajak siapapun untuk bergabung dengan Faceblock melalui tagar #faceblock dan mengirim pesan ke Zuckerberg serta pada pemerintah.
Advertisement
Indonesia Turut Jadi Korban
Dalam keterangan resminya, Facebook mengungkap informasi dari sekira 87 juta pengguna telah digunakan secara tidak layak oleh perusahaan konsultan politik, Cambridge Analytica.
Sebagian besar merupakan data pengguna Facebook di Amerika Serikat (AS), dan Indonesia juga termasuk tiga besar yang menjadi korban.
Sebanyak 70,6 juta akun yang disalahgunakan berasal dari AS, Filipina berada di posisi ke dua dengan 1,2 juta dan Indonesia dengan 1 jutaan akun. Dari total jumlah akun yang disalahgunakan, 1,3 persen adalah milik pengguna di Indonesia.
Negara-negara lain yang juga menjadi korban adalah Inggris, Meksiko, Kanada, India, Brasil, Vietnam dan Australia. Namun, Facebook mengaku tidak tahu rincian data yang diambil dan jumlah pasti akun yang menjadi korban.
"Total, kami yakin informasi dari 87 juta orang di Facebook, sebagian besar di AS, telah dibagikan secara tidak layak dengan Cambridge Analytica," tulis Facebook dalam keterangan resminya, Kamis (5/4/2018).
Menanggapi soal itu, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengatakan pihaknya tak segan untuk menutup Facebook apabila penanganan terkait hoaks tak juga dilakukan dengan serius.
Keputusan itu, menurut Rudiantara, tak terlepas dari pengakuan Facebook terkait kasus kekerasan di Rohingnya, Myanmar. Sebagai informasi, CEO Facebook Mark Zuckerberg baru-baru ini mengaku telah menemukan upaya untuk memperkeruh suasana di Rohingnya melalui platform-nya.
"Saya mengambil posisi dan tak punya keraguan untuk menutup Facebook apabila platform-nya menjadi bagian dari penyebaran hoaks ini. Kita tak ingin seperti yang terjadi di Rohingnya," tuturnya saat ditemui awak media di kantor Kemkominfo.
(Tin/Jek)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: