Sukses

Cambridge Analytica Dijamin Tak Akan Kembali dengan Nama Lain

Pendiri induk usaha Cambridge Analytica, SCL Group, Nigel Oakes, mengatakan bahwa perusahaan analisis data itu tidak akan hadir kembali dengan nama baru.

Liputan6.com, Jakarta - Pendiri induk usaha Cambridge Analytica, SCL Group, Nigel Oakes, mengatakan bahwa perusahaan analisis data itu tidak akan hadir kembali dengan nama baru. Pernyataannya ini disampaikan menyusul kekhawatiran Cambridge Analytica akan melakukan rebranding di bawah sebuah perusahaan misterius bernama Emerdata.

Dilansir Business Insider, Kamis (10/5/2018), Oakes dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg, mengatakan Emerdata telah berada dalam kondisi "administrasi". Artinya, perusahaan itu dikelola oleh administrator yang ditunjuk pengadilan terkait proses kebangkrutan.

Cambridge Analytica dan SCL Elections (bagian dari SCL Group) telah mengumumkan penutupan dan kebangkrutannya pada pekan lalu.

"Pada akhirnya, semuanya pergi. Tidak ada rahasia. Untuk membuat hal seperti ini kembali, kalian memerlukan tim untuk bekerja bersama, tapi tidak ada yang bekerja sama. Semua pergi untuk melakukan hal-hal mereka sendiri," kata Oakes.

Emerdata merupakan sebuah perusahaan yang didirikan pada Agustus 2017, sebelum pemberitaan skandal penyalahgunaan data pengguna Facebook oleh Cambridge Analytica menjadi konsumsi publik. Sejumlah eksekutif top SCL duduk di dewan direksinya, termasuk Rebekah dan Jennifer Mercer, yang merupakan kedua putri dari miliarder Robert Mercer.

Berdasarkan penuturan Oakes, ide awal ketika Emerdata didirikan pada tahun lalu yaitu untuk mengakuisisi Cambridge Analytica. SCL Elections berencana menyatukan kedua perusahaan di bawah satu atap.

Oakes menambahkan, Firecrest Technologies, perusahaan lain yang didirikan pada Maret 2018 oleh mantan CEO Cambridge Analytica, Alexander Nix, juga akan ditutup. Pemegang saham utama Firecrest adalah Emerdata. Namun, Oakes tidak mengungkapkan apakah SCL Group juga akan ditutup atau tidak.

Cambridge Analytica menjadi sorotan dunia karena menyalahgunakan data puluhan juta pengguna Facebook. Perusahaan asal Inggris ini dilaporkan menggunakan data tersebut untuk membuat profil psikologis pengguna Facebook, guna menargetkan mereka dengan iklan terkait kampanye Donald Trump selama Pilpres AS 2016.

Selain itu, data yang sama juga digunakan oleh orang-orang yang menyarankan Inggris meninggalkan Uni Eropa, menjelang pemungutan suara Brexit pada tahun lalu.

 

2 dari 3 halaman

Cambridge Analytica Ditutup, Bagaimana Nasib Data Pengguna Facebook?

Cambridge Analytica memutuskan menutup usahanya menyusul skandal penyalahgunaan data puluhan juta pengguna Facebook. Setelah perusahaan ditutup, muncul pertanyaan bagaimana nasib data Cambridge Analytica, termasuk yang berasal dari pengguna Facebook?

Dikutip dari Wired, biasanya langkah selanjutnya bagi sebuah perusahaan yang berhenti beroperasi cukup sederhana. Namun, untuk Cambridge Analytica, tampaknya tidak begitu.

Seorang administrator, Crowe Clark Whitehil LLP, ditunjuk untuk mengelola likuidasi Cambridge Analytica. Bersamaan penutupan Cambridge Analytica, afiliasinya yakni SCL Elections, juga dinyatakan mengalami pailit. Tujuan likuidasi ini mencoba dan menambah nilai apa pun dari perusahaan dengan menjual aset, termasuk data yang berguna. Sisanya biasanya akan dihapus.

Menurut pengacara internet, telekomunikasi dan teknologi di firma hukum decode:Legal, Neil Brown, tidak ada kerangka waktu resmi untuk melakukan penghapusan. "Prinsip umumnya adalah ketika data tidak lagi dibutuhkan untuk tujuan yang sedang diproses secara sah, maka harus dihapus atau dianonimkan. Ini harus dilakukan tepat pada waktunya," jelas Brown.

Selain itu, Heather Anson dari DigitalLawUK, berpendapat bahwa beberapa perusahaan yang memiliki data pribadi sebagai aset juga bisa memindahkan atau menjualnya. Oleh sebab itu, harus ditentukan terlebih dahulu, apakah data tersebut bisa atau harus dialihkan ke entitas lain.

"Informasi yang harus dialihkan, misalnya, mungkin informasi medis pasien fasilitas medis yang tutup ketika dirawat di tempat lain. Selain itu, juga perusahaan-perusahaan pemasaran yang mendapatkan persetujuan untuk mengumpulkan dan menjual kontak, mungkin juga bisa menjualnya sebagai aset jika izinnya didokumentasikan," ungkap Anson.

Jika pernyataan Anson merujuk pada kasus Cambridge Analytica, dengan klaim dari whistleblower bahwa data tidak dikumpulkan dan digunakan dengan benar, maka data-data pengguna Facebook seharusnya tidak bisa ditransfer ke entitas lain.

Di sisi lain, Cambridge Analytica sejak skandal penyalahgunaan data pengguna Facebook terungkap, menegaskan tidak melakukan tindakan ilegal. Perusahaan konsultan politik itu mengklaim telah difitnah, padahal merasa melakukan kegiatan yang tidak hanya legal, tapi secara luas diterima sebagai komponen standar dari iklan online.

 

3 dari 3 halaman

Investigasi Cambridge Analytica

Cambridge Analytica sedang diinvestigasi oleh Information Commissioner's Office (ICO) Inggris, begitu pula oleh para regulator di Jerman, Irlandia, dan Italia. ICO menyatakan, semua data harus disimpan oleh perusahaan saat berada dalam proses investigasi untuk memastikan tidak ada kesalahan, sehingga data-data tersebut tidak boleh dihapus. Selain itu, juga tidak boleh dijual untuk alasan yang sama.

Investigasi ICO juga mencakup berbagai "entitas penerus". Konsultan kepailitan, Malcolm Niekirk, menilai menjual data bukan perkara mudah, meski proses pengumpulannya sesuai dengan peraturan.

Niekirk pernah menangani pailit sebuah Rumah Sakit swasta, yang mengalihkan data dalam jumlah besar untuk melanjutkan proses perawatan.

"Data itu racun. Saya tidak bisa membayangkan siapa pun ingin membelinya. Hal ini akan menyebabkan begitu banyak isu regulasi yang melekat pada data itu, sehingga tidak ada orang waras ingin menyentuhnya," tutur Niekirk.

(Din/Isk)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini