Sukses

AS Perketat Visa Mahasiswa Tiongkok yang Belajar Teknologi

Mahasiswa S2 Tiongkok yang ingin belajar teknologi di AS akan terkena kebijakan visa yang lebih ketat.

Liputan6.com, Jakarta - Mulai 11 Juni 2018, visa mahasiswa S2 Tiongkok akan dibatasi menjadi satu tahun apabila mereka belajar bidang robotik, penerbangan, dan manufaktur teknologi tinggi.

Peraturan itu berbeda dari kebijakan yang biasanya mengizinkan pemberian jangka berlaku visa selama mungkin (tidak dibatasi). Demikian laporan AP News, Kamis (31/5/2018).

Departemen Luar Negeri AS tidak memberikan keterangan mengenai kebijakan ini. Kabar ini pun terkuak lewat instruksi yang dikirimkan pemerintah AS ke kedutaan besar dan konsulat mereka.

Dokumen itu menyebut, AS akan meninjau dan memperketat prosedur visa agar melindungi hak kekayaan intelektual AS dari pencurian. Tiongkok sendiri kerap diduga melakukan aksi demikian.

Manuver yang dibuat pemerintahan Trump tidaklah tanpa tujuan, sebab bidang-bidang tersebut merupakan elemen penting dalam program Made in China 2025.

Program itu bertujuan agar Tiongkok meraih swasembada teknologi serta merajai teknologi global. Ambisi tersebut jelas tidak diterima kalangan internasional, terutama AS.

Warga Tiongkok yang bekerja sebagai peneliti dan manajer perusahaan yang menginginkan visa juga harus melewati proses persetujuan yang panjang dari berbagai badan berwenang AS.

Diperkirakan, proses akan selesai dalam waktu sembilan bulan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Beratnya Kerja di Industri Teknologi Tiongkok

Cepatnya kesuksesan perusahaan teknologi Tiongkok cenderung "mengorbankan" tenaga manusia demi lebih maju dari rival luar negeri. Salah satunya adalah dengan merekrut orang-orang muda.

Bloomberg menyebut perusahaan teknologi Tiongkok memiliki beban kerja "996", yaitu bekerja dari pukul sembilan pagi sampai sembilan malam selama enam hari dalam seminggu.

Pola pekerjaan "996" ditenggarai jadi penyebab orang-orang usia paruh baya tidak terlalu dipandang saat melamar pekerjaan di sektor teknologi. Hal ini tentu juga menguntungkan perusahaan, sebab upah orang-orang muda tergolong lebih murah.

"Kebanyakan orang di usia 30-an sudah menikah dan harus mengurus keluarga, sehingga mereka tidak akan bisa fokus ke pekerjaan intensitas tinggi," ucap Helen He, seorang tech recruiter di Shanghai.

Terbukti, pada situs Zhaopin.com, puluhan ribu pekerjaan hanya dibuka untuk mereka yang usianya 35 tahun ke bawah. Bahkan, latar pendidikan pun bisa jadi nomor dua, sementara usia muda masih lebih diutamakan.

Hukum di Tiongkok hanya melarang diskriminasi atas dasar jenis kelamin, agama, dan disabilititas. Untuk diskriminasi usia di perusahaan teknologi memang tidak dilindungi, tetapi Bloomberg sempat melaporkan tindak diskriminasi seperti terhadap jenis kelamin juga tidak sepenuhnya ditanggapi serius oleh pihak berwajib.

3 dari 3 halaman

Turut Terjadi Seksisme

Beberapa perusahaan teknologi di Tiongkok juga dituding sering menghadirkan seksisme lewat iklan-iklan produk mereka.

Human Rights Watch (HRW) dalam laporannya menyebut perusahaan teknologi Tiongkok, seperti Alibaba, Baidu, dan Tencent ternyata secara rutin menghadirkan iklan yang mengobjektifikasi perempuan, padahal itu melanggar hukum.

"Pihak berwajib di Tiongkok jarang menegakkan larangan hukum terhadap diskriminasi dalam ketenagakerjaan dan di periklanan," tulis HRW dalam laporannya, seperti dikutip Bloomberg.

Ada sejumlah jenis iklan yang seksis. Pertama, adalah konten seksis pada iklan mencari pekerjaan.

Contohnya, di iklan Alibaba muncul wanita-wanita cantik yang mengaku menyukai pria di bidang teknologi untuk menggaet pegawai baru.

"Inilah para dewi di hati karyawan Alibaba. Mereka ingin bekerja bersamamu. Apa kamu juga mau?" tulis sebuah iklan yang menampilkan foto wanita-wanita bergaya sensual.

Jenis iklan lainnya yang dituding seksis adalah yang mengutamakan laki-laki, seperti yang dilakukan Baidu.

Ada juga Tencent yang menampilkan iklan berisi adanya wanita cantik yang bekerja di perusahaan mereka, sehingga karyawannya merasa gembira.

Tidak hanya di perusahaan teknologi, HRW mencatat fenomena iklan kerja seksis serupa terjadi di sektor pemerintahan, serta muncul di iklan-iklan bergaji tinggi dan posisi prestisius, sehingga kesan meremehkan kapasitas pekerja perempuan menjadi semakin kuat. 

(Tom/Isk)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.