Sukses

Polemik Order Fiktif di Transportasi Online, Untung atau Buntung?

Penggunaan fake GPS untuk mengakali posisi mitra pengemudi transportasi online ternyata semakin marak terjadi.

Liputan6.com, Jakarta - Salah satu isu yang kini menjadi perhatian dari penyedia transportasi online adalah maraknya temuan kasus order fiktif atau "tuyul", termasuk penggunaan fake GPS untuk mengakali posisi mitra pengemudi.

Meski terlihat belum besar, aksi curang ini membawa dampak kerugian yang cukup signifikan.

Menurut pengamat INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara, dampak dari aksi curang ini berlaku sebenarnya berakibat ke banyak hal. Selain mitra pengemudi dan penumpang, perusahaan penyedia layanan juga dipastikan akan terkena imbasnya.

Bhima menuturkan, INDEF baru saja melakukan sebuah studi terkait keberadaan transportasi online yang ada saat ini. Salah satu hasil studi yang menarik adalah aksi curang, terutama order fiktif, ternyata cukup sering dialami oleh pengemudi.

"Dari studi kami, pengemudi ojek online yang mendapat order fiktif bisa mencapai dua hingga tiga kali per minggu,"  tuturnya saat seminar membahas soal fenomena order fiktif transportasi online di Jakarta, Selasa (5/6/2018), kemarin.

"Sementara itu, order yang diterima setiap pengemudi sekitar 10 kali per hari, sehingga kalau dibiarkan akan membawa dampak yang cukup signifikan bagi mitra pengemudi."

2 dari 2 halaman

Sisi Penyedia Layanan

Aksi protes driver grab di Kantor Grab Kendari, Kamis (24/5/2018) menuntut perubahan jumlah bonus.

Dari sisi penyedia layanan, tindakan curang semacam ini juga dapat mengancam keuangan perusahaan, terutama dari kasus penumpang fiktif. Dengan aksi ini, pengemudi tak perlu mengantarkan penumpang, tapi tetap mendapatkan intensif dari penyedia layanan.

"Penyedia layanan tentu akan mengeluarkan intensif yang sia-sia," tutur Bhima menjelaskan. Ia menuturkan ada beberapa alasan yang dilakukan para mitra pengemudi curang ini, mulai dari ingin mengejar bonus tanpa bersusah payah hingga merusak pasar sebuah wilayah.

Untuk alasan yang terakhir, Bhima menuturkan, modus yang kerap dipakai adalah order fiktif. Jadi, mitra pengemudi yang ada di suatu wilayah selalu mendapatkan order yang tak jelas atau dengan penumpang yang sulit dihubungi.

"Kalau terjadi terus menerus, tentu wilayah itu akan ditinggal sejumlah mitra pengemudi. Akibatnya, persaingan di tempat tersebut akan semakin sedikit. Hal ini tentu akan menimbulkan persaingan tidak sehat," ujar Bhima.

Lantas, mengapa masalah ini sepertinya belum mendapat perhatian serius dari penyedia layanan?

Perwakilan dari Masyarakat Transportasi Indonesia, Muslih Zaenal Asikin, memperkirakan kasus semacam ini belum sepenuhnya mengganggu operasional perusahaan, sehingga solusi yang ditawarkan belum menyeluruh.

"Saya rasa (masalah) ini belum sampai tulang (perusahaan), jadi ancamannya masih belum benar-benar diselesaikan. Untuk sekarang, masalah ini masih sebatas daging saja (atau belum benar-benar dianggap mengancam perusahaan)," ujar Muslih.

(Dam/Ysl)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Â