Sukses

Fake GPS dan Order Fiktif Mewabah, Ini Cara yang Bisa Dilakukan Penyedia Ride Sharing

Para penyedia layanan dapat meniru sistem yang digunakan oleh WeChat, aplikasi chatting asal Tiongkok.

Liputan6.com, Jakarta - Keberadaan transportasi online seperti Grab atau Go-Jek harus diakui telah memudahkan kehidupan masyarakat sehari-hari. Dengan layanan ini, masyarakat bisa memperoleh akses transportasi lebih mudah dan cepat karena berbasis lokasi.

Namun, dengan semakin ramainya pengguna layanan transportasi online, ternyata ada pihak-pihak yang memanfaatkannya untuk mengeruk keuntungan sendiri.

Salah satu isu yang marak dibicarakan dalam beberapa waktu terakhir adalah soal order fiktif atau 'tuyul', dan penggunaan aplikasi GPS palsu.

Sesuai namanya, order fiktif atau tuyul biasanya digunakan oleh oknum yang curang untuk memperoleh intensif atau bonus tanpa perlu melakukan perjalanan.

Sementara, pemanfaatan aplikasi GPS palsu, membuat oknum yang memakainya dapat memperoleh penumpang yang berada di lokasi berbeda.

Hal ini, menurut pengamat keamanan siber dan kriptografi Pratama Persadha, sebenarnya dapat diatasi dengan sejumlah cara.

Dalam seminar yang membahas soal fenomena order fiktif transportasi online, Pratama menyebut para penyedia layanan dapat meniru sistem yang digunakan oleh WeChat, aplikasi chatting asal Tiongkok.

"Salah satunya adalah memanfaatkan akses posisi terhadap hardware. Jadi, WeChat itu dibangun dengan Hardware Abstraction Layer (HAL), sehingga GPS hardware yang langsung terhubung dengan aplikasi," ujarnya menjelaskan saat di Jakarta, Selasa (5/6/2018).

Dengan cara itu, menurut Pratama, aplikasi WeChat tak mudah diakali dengan aplikasi GPS palsu pihak ketiga.

Karenanya, aksi nakal dari sejumlah oknum dengan memanfaatkan aplikasi GPS pihak ketiga dapat dikurangi.

"Cara lain yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan layanan SMS berbasis Location Base Service (LBS). Lewat cara ini, aplikasi akan membaca lokasi berdasarkan jaringan seluler terdekat," tutur pria yang juga menjabat sebagai Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) itu.

Lantas, mengapa tindakan dari penyedia layanan terkesan dirasa belum optimal?

Perwakilan dari Masyarakat Transportasi Indonesia, Muslih Zaenal Asikin, memperkirakan kasus semacam ini belum sepenuhnya mengganggu operasional perusahaan, sehingga solusi yang ditawarkan belum menyeluruh.

"Saya rasa (masalah) ini belum sampai 'tulang' (perusahaan), jadi ancamannya masih belum benar-benar diselesaikan. Untuk sekarang, masalah ini masih sebatas daging saja (atau belum benar-benar dianggap mengancam perusahaan)," ujar Muslih.

2 dari 3 halaman

Rugikan Banyak Pihak

Aksi curang semacam ini jelas merugikan, tak hanya bagi penyedia layanan tapi juga pengguna transportasi online.

Menurut pengamat INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara, masalah ini penting ditemukan solusinya mengingat membawa dampak yang cukup signifikan.

Bhima menuturkan, INDEF sendiri baru saja melakukan sebuah studi terkait keberadaan transportasi online yang ada saat ini.

Salah satu hasil studi yang menarik adalah aksi curang, terutama order fiktif, ternyata cukup sering dialami oleh pengemudi

"Dari studi kami, pengemudi ojek online yang mendapat order fiktif itu bisa mencapai dua hingga tiga kali per minggu. Sementara, order yang diterima setiap pengemudi sekitar 10 kali per hari, sehingga kalau dibiarkan akan membawa dampak yang cukup signifikan bagi mitra pengemudi," tuturnya saat seminar membahas soal fenomena order fiktif transportasi online di Jakarta, Selasa (5/6/2018), kemarin.

Dari sisi penyedia layanan, tindakan curang semacam ini juga dapat mengancam keuangan perusahaan, terutama dari kasus penumpang fiktif alias tuyul.

Dengan aksi ini, pengemudi tak perlu mengantarkan penumpang, tapi tetap mendapatkan intensif dari penyedia layanan.

"Penyedia layanan tentu akan mengeluarkan intensif yang sia-sia," tutur Bhima menjelaskan. Ia sendiri menuturkan ada beberapa alasan yang dilakukan para mitra pengemudi curang ini, mulai dari ingin mengejar bonus tanpa bersusah payah hingga merusak pasar sebuah wilayah.

Untuk alasan yang terakhir, Bhima menuturkan, modus yang kerap dipakai adalah order fiktif. Jadi, mitra pengemudi yang ada di suatu wilayah selalu mendapatkan order yang tak jelas atau dengan penumpang yang tak sulit dihubungi.

"Kalau terjadi terus menerus, tentu wilayah tersebut akan ditinggal sejumlah mitra pengemudi. Akibatnya, persaingan di tempat tersebut akan semakin sedikit. Hal ini tentu akan menimbulkan persaingan tidak sehat," ujar Bhima.

3 dari 3 halaman

Upaya Grab dan Go-Jek Atasi Aksi Curang Mitra Pengemudi

Di sisi lain, Grab dan Go-Jek sebenarnya tak tinggal diam dengan adanya masalah ini.

Kedua penyedia layanan itu sudah mulai melakukan sosialisasi termasuk memberikan informasi mengenai konsekuensi yang akan diterima dari tindakan curang yang dilakukan.

Awal tahun ini, Grab sudah meluncurkan sebuah gerakan yang diberi nama 'Grab Lawan Opik'. Melalui program ini, Grab ingin melindungi para mitra pengemudi dari tindakan fraud.

Sebelumnya, memang sempat ada kasus temuan order fiktif yang dilakukan mitra pengemudi GrabCar beberapa bulan lalu.

Ada tujuh driver curang yang menggunakan aplikasi pihak ketiga untuk mencapai target harian.

Sementara dari Go-Jek, perusahaan mengatakan memiliki kode etik yang mengatur tala kelola pelayanan mitra driver.

Bila ada mitra driver yang terbukti melakukan pelanggaran atau kecurangan, perusahaan ride-sharing itu menegaskan akan mendepaknya.

"Mereka (driver) akan kami kenakan sanksi tegas, termasuk pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini guna menjaga kualitas layanan kepada pelanggan sekaligus untuk menghargai para mitra-mitra lain yang bekerja keras secara baik dan jujur untuk kehidupan mereka dan keluarga," kata Manajemen Go-Jek kepada Tekno Liputan6.com.

(Dam/Jek)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: