Liputan6.com, Washington DC - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump siap 'mengampuni' ZTE yang tengah terjerat hukuman berupa pelarangan membeli perangkat dari AS selama tujuh tahun.
Masalahnya, sanksi tersebut sebetulnya berasal dari Departemen Perdagangan AS serta didukung kalangan senator. Mereka tak kuasa mencegah intervensi Trump.
Advertisement
Baca Juga
Dilansir Reuters, Jumat (8/6/2018), Partai Demokrat dan Partai Republik sejatinya setuju sanksi ini, apalagi ZTE sudah sejak lama dicurigai oleh FBI dan CIA.Â
"Teknologi mereka adalah ancaman keamanan menurut otoritas pertahanan dan penegak hukum kita. Mengapa pula pemerintahan Trump mempertimbangkan melonggarkan hukuman pada pemain buruk seperti ZTE?" ujar Ketua Senat Demokrat Chuck Schumer.
Dalam masalah kebijakan luar negeri, posisi Presiden AS memiliki kuasa yang besar, dan untuk mencegah langkah Trump maka dibutuhkan produk hukum baru.
Namun demikian, langkah itu akan sulit, sebab Partai Demokrat tidak sedang berkuasa di legislatif AS.
Tidak mungkin juga Kongres melakukan veto untuk mengatasi hal ini, sebab veto butuh 2/3 dukungan, sedangkan mayoritas Partai Republik belum tentu mau menjegal Trump.
Bila rencana Trump lancar, ZTE bisa kembali berbisnis di AS setelah membayar denda.
Sejauh ini, total yang harus dibayar perusahaan Tiongkok itu adalah US$ 1,7 miliar atau setara Rp 23 triliun.
Belum ada kepastian apakah angka tersebut sudah final atau akan ada penyesuaian lagi.
Awal Mula Sanksi
Perusahaan perangkat telekomunikasi ZTE yang bermarkas di Shenzhen, Tiongkok, mendapat hukuman dari Amerika Serikat (AS) berupa pelarangan membeli komponen selama tujuh tahun.
Dilansir New York Times, pencekalan ini diumumkan Departemen Perdagangan AS karena ZTE tak kunjung menghukum pegawai mereka yang melanggar sanksi AS.
Sanksi tersebut adalah pelarangan penjualan terhadap Iran dan Korea Utara, dan ZTE ditemukan melakukan mengirimkan produk ke dua negara tersebut.
ZTE memang berasal dari Tiongkok, tetapi produk-produknya memakai hasil manufaktur AS, mulai dari chip sampai teknologi suara.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross sudah geram dengan kelakukan dua perusahaan Tiongkok, yakni Huawei dan ZTE, karena kerap melanggar sanksi AS.
"Kami ingin dunia memperhatikan kalau permainan telah berakhir. Mereka yang menyepelekan sanksi ekonomi dan hukum pengendalian hukum ekspor, tidak akan bebas tanpa hukuman, mereka akan tertimpa konsekuensi paling keras," ucap Ross.
Pada Maret lalu, ZTE diketahui menjual produk-produk buatan AS ke Iran untuk membangun jaringan telekomunikasi. ZTE juga ketahuan mikroprosesor, server, dan router ke Korea Utara.
Pihak kejaksaan agung AS turut menyatakan ZTE berkali-kali berbohong dan menyesatkan penyidik federal, pengacara, dan penyidik internal terkait tindakan mereka saat mengirim produk ke negara-negara yang kena sanksi.
Advertisement
ZTE Rugi Besar
Setelah dijatuhi sanksi berupa pencekalan oleh Departemen Perdagangan Amerika Serikat (AS), ZTE langsung merasakan dampak finansialnya.
Dilansir Bloomberg, ZTE diestimasi rugi sebesar US$ 3,1 miliar atau setara dengan Rp 44 triliun pada kurs saat ini.
ZTE juga terpaksa menahan operasi produksinya, akibatnya pekerjaan 75 ribu pegawai menjadi tertahan.
Sanksi yang dijatuhi AS adalah pelarangan ZTE untuk membeli produk AS selama tujuh tahun. Padahal, produk dari perusahaan tersebut banyak memakai komponen dari AS.
Akibatnya, para klien ZTE khawatir melakukan transaksi meski sudah melakukan meneken perjanjian.
Pemerintah Tiongkok juga turun tangan dan menjadi negosiator, dan hasil negosiasi tersebut berhasil karena Presiden AS Donald Trump memerintahkan agar sanksi ZTE dibatalkan.
Meski sanksi pelarangan dibatalkan, Trump awalnya mempertimbangkan menjatuhkan sanksi denda lebih dari US$1 miliar (setara Rp 14 triliun).Â
Kekhawatiran lain yang muncul adalah bila sanksi ZTE juga dijatuhkan ke Huawei. Sebab, perusahaan itu juga dipandang negatif oleh badan intelijen seperti FBI dan CIA.Â
Kasus yang menimpa ZTE terjadi dalam periode sensitif yang terjadi antara AS dan Tiongkok. Pasalnya, Trump selalu dibuat marah oleh praktik dagang Tiongkok yang dianggapnya tidak sehat.
Tetapi, Trump berulang kali menekankan masih membuka jalan negosiasi. Kasus ZTE pun dipandang sebagai bargaining chip bagi Trump untuk 'menjinakkan' aturan dagang Tiongkok.
(Tom/Jek)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini