Liputan6.com, Jakarta - Sulit bagi kita untuk mengingat kenangan masa kecil saat masih bayi atau saat beranjak balita. Beberapa mungkin bisa diingat, meski cuma sekilas dalam bentuk gambaran singkat.
Namun, menurut studi ilmuwan dari City University, London, Inggris, ingatan manusia saat masih kecil ternyata kebanyakan bersifat fiktif alias tidak nyata.
Advertisement
Baca Juga
Dalam laporan studi yang dimuat di laman Mirror, Kamis (19/7/2018), kenangan masa kecil yang dimaksud berkisar di rentang usia satu hingga tiga tahun.
Menariknya, studi juga mengungkap kalau 40 persen orang yang disurvei mengaku memiliki kenangan masa kecil saat mereka berusia di bawah tiga tahun atau lebih muda. Memang, kebanyakan tidak bisa mengingat pasti kenangan yang dimiliki.
Shazia Akhtar, penulis studi tersebut, menjelaskan kalau kenangan adalah kumpulan ingatan kompleks manusia yang tidak bersifat seperti di buku--bisa disimpan di dalam lemari.
Menurutnya, kenangan masa kecil manusia bersifat fiktif, karena itu merupakan representasi kondisi mental otak manusia.
Otak manusia memiliki batas kemampuan untuk mengingat. Akan tetapi, karena saking banyaknya momen masa kecil yang dilewati, otak akhirnya tak mampu memilah mana yang bisa diingat dan mana sebetulnya yang fiktif.
"Mereka (kenangan masa kecil) terdiri dari pecahan-pecahan kejadian apa yang telah dialami manusia dan mereka memprosesnya ke dalam otak sebagai hal yang bisa dibayangkan," ujar Akhtar.
Ilmuwan Temukan Teknologi Penghapus Kenangan Manusia
Terlepas dari kenangan masa kecil yang bersifat fiktif, teknologi yang bisa menghapus kenangan manusia ternyata tidak sebatas fiktif seperti di film Eternal Sunshine of The Spotless Mind.
Sekadar flashback, film yang dibintangi Jim Carrey dan Kate Winslet tersebut menceritakan tentang perjuangan sepasang mantan kekasih yang berniat menghapus kenangan masing-masing karena ingin move on.
Orang pertama yang berhasil menghapus kenangannya adalah karakter Clementine, diperankan oleh Winslet. Ia pergi ke sebuah tempat bernama Lacuna Inc dan menghapus kenangan dengan menggunakan perangkat elektronik khusus.
Metode tersebut ternyata benar dibuktikan oleh sekelompok ilmuwan asal Kanada yang kini tengah mengembangkan teknologi serupa.
Dilaporkan laman Sky News, Jumat (24/2/2017), teknologi itu diciptakan dengan tujuan menghapus trauma penderita PTSD (post-traumatic stress disorder) di kehidupannya dengan menghilangkan sel saraf otak secara genetik.
Meski begitu, teknologi ini diklaim masih memasuki tahap awal. Mereka tengah menguji temuannya pada sekelompok tikus dan berhasil melakukannya. Bagaimanapun, praktik menghapus kenangan manusia memiliki dampak komplikasi yang berisiko.
Dr Sheena Josselyn, ilmuwan peneliti teknologi memory eraser dari University of Toronto mengatakan bahwa salah satu dampak yang paling besar dirasakan manusia adalah tidak adanya perubahan perilaku karena trauma tertentu.
"Trauma yang dialami sejumlah manusia memang menyakitkan. Namun, ada juga jenis trauma yang menuntun kita untuk belajar lebih baik, belajar dari kesalahan dan berkembang," kata Dr Josselyn.
Sayangnya, Dr Josselyn tidak menjelaskan secara detail seperti apa jenis perangkat yang menggunakan teknologi tersebut dan bagaimana teknologi itu bisa memengaruhi sisi psikologis manusia.
Advertisement
Gas Xenon
Sebelumnya, metode menghapus kenangan juga telah ditemukan sekelompok ilmuwan pada 2016. Mereka mencari cara menetralkan perasaan sedih, takut, atau malu, dengan cara memblokir norepinapherine, yaitu kimiawi yang diasosiasikan dengan respons untuk kabur atau melawan dan pemicu memori.
Dengan menangkal kimiawi itu, pada dasarnya akan mengubah bagaimana suatu memori dikembalikan ke tempatnya. Setelah diingat, proses ini disebut "rekonsolidasi".
Cara lain yang saat ini sedang diuji coba adalah dengan menghirup gas xenon, senyawa kimia yang sering digunakan untuk anestesi di Eropa. Disimpan dalam inhaler yang biasa digunakan untuk meredam asma, gas ini dihirup sambil mengingat suatu memori buruk.
Gas ini kemudian akan menargetkan reseptor otak, yang diasosiasikan dengan pembelajaran dan ingatan. Proses ini kemudian akan menghilangkan konotasi negatif di memori buruk tadi.
Sayangnya, proses-proses di atas harus menempuh perjalanan panjang sebelum bisa diaplikasikan pada manusia, terlebih dari perspektif moral. Mengingat memori tertanam cukup dalam di otak, sedikit saja kesalahan bisa memengaruhi seluruh pikiran seseorang.
(Jek/Isk)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: