Sukses

Kena Denda, Google Ancam Android Akan Berbayar

Menurut CEO Google Sundar Pichai mengubah model bundel Android akan mengganggu ekosistem Android yang selama ini gratis.

Liputan6.com, Mountain View - Keputusan Uni Eropa untuk mengganjar Google dengan denda ternyata segera direspon oleh Google.

CEO Google Sundar Pichai langsung menanggapi tuntutan tersebut melalui sebuah tulisan di blog perusahaan.

Dalam tulisannya, Pichai menyebut pengguna Android sebenarnya bisa menghapus aplikasi bawaan di perangkatnya.

Selain itu, mereka juga dapat memilih aplikasi untuk diunduh yang dibuktikan dengan data bahwa pengguna biasa memasang 50 aplikasi secara mandiri. 

Namun, jika diminta untuk tidak menyertakan aplikasi bawaan di Android, hal itu dapat mengganggu ekosistem.

"Jika manufaktur dan operator tidak menyertakan aplikasi, itu akan mengganggu ekosistem Android," tuturnya seperti dikutip dari The Verge, Kamis (19/7/2018).

Lebih lanjut dia menuturkan, sistem bundel semacam ini juga menjadi syarat agar Android tetap gratis. Alasannya, Google tidak perlu membebankan biaya pada perusahaan yang ingin menggunakan teknologinya.

"Namun, kami khawatir keputusan ini akan mengganggu keseimbangan yang telah kami lakukan dengan Android, dan dapat menjadi isyarat yang mengganggu dukungan terhadap kepemilikan platfrom terbuka," tulisnya.

Melalui tulisan itu, Pichai juga menyebut bahwa putusan Komisi Eropa ini telah mengabaikan fakta bahwa Androdi tengah bersaing dengan iOS. Oleh sebab itu, Android hadir untuk menawarkan pilihan.

Di sisi lain, permintaan Komisi Eropa agar Google menghentikan aksi bundel Android dengan sejumlah aplikasi bawaan diprediksi akan mengancam perusahaan. Alasannya, hal tersebut dapat mengurangi pendapatan perusahaan, khususnya dari sisi iklan mobile.

Karenanya, Google turut memperingatkan bahwa bisnis model Android sebenarnya dapat saja berubah.

Akan tetapi, perusahaan tentu harus menarik biaya lisensi dari perusahaan smartphone, alih-alih memberikannya secara gratis.

2 dari 3 halaman

Komisi Eropa Denda Google atas Tuduhan Monopoli

Sekadar informasi, Komisi Eropa menganggap sistem operasi Android merupakan cara ilegal perusahaan untuk mengukuhkan mesin pencari besutannya. 

Karena itu, Komisi Eropa meminta anak perusahaan Alphabet itu mengubah praktik bisnisnya dalam waktu 90 hari. Jika tidak dipenuhi, perusahaan akan mendapat hukuman berupa denda mencapai 5 persen dari rata-rata omset harian global.

Dikutip dari BBC, Kamis (19/7/2018), denda yang harus dibayarkan Google mencapai Rp 72 triliun. Menurut Komisioner Kompetisi Margrethe Vestager, konsumen seharusnya memiliki pilihan dari perangkat yang dibelinya.

Seperti diketahui, sejak beberapa tahun lalu, Google mewajibkan OEM Android untuk menyertakan sejumlah aplikasi besutan perusahaan, mulai dari aplikasi Gmail hingga Google Search. Langkah itu yang kini ditentang oleh Komisi Eropa.

Vestager menilai ada tiga cara ilegal yang dilakukan Google dalam menjalankan bisnis Android. Pertama, manufaktur perangkat Android diharuskan memasang aplikasi Google Search bawaan dan peramban Chrome sebagai syarat mendapatkan akses ke Play Store.

"Google juga membayar sejumlah manufaktur dan operator yang setuju memasang aplikasi Google Search secara eksklusif di perangkatnya," tuturnya.

Tak hanya itu, Google juga dianggap mencegah manufaktur menjual perangkat yang menjalankan versi Android alternatif. Caranya, perangkat mereka diancam tidak mendapatkan izin untuk menggunakan aplikasi Android.

Di sisi lain, Vestager sebenarnya mengetahui bahwa Android tidak melarang pengguna Android mengunduh peramban alternatif atau memakai mesin pencari lain. Namun, hanya ada 1 persen pengguna yang memilih mesin pencari lain, dan 10 persen peramban alternatif.

"Begitu pengguna memilikinya (aplikasi Google Search dan Google Chrome) dan berjalan baik, akan sangat sedikit pengguna yang penasaran untuk mencari aplikasi atau peramban lain," tuturnya menjelaskan.

3 dari 3 halaman

Permintaan Komisi Eropa

Komisi Kompetisi Eropa merasa Google telah memanfaatkan momen kebangkitan internet seluler untuk mendulang kesuksesan sama seperti di desktop. Salah satu hal yang menjadi perhatian adalah persoalan iklan di layanan Google.

Karena itu, Vestager meminta Google untuk menghentikan semua praktik yang dilakukannya saat ini. Selain itu, perusahaan juga diminta untuk tidak melakukan tindakan lain dengan motif serupa.

"Rusia menjadi salah satu contoh baik bahwa ada alternatif lain yang dapat dilakukan," tuturnya.

Sekadar diketahui, sejak ada keluhan dari regulator Rusia, Google kini menambah daftar mesin pencari utama yang dipakai di Chrome.

Selain Google, perusahaan turut menyertakan mesin pencari lain, yakni Yandex dan Mail.ru. Dengan cara ini, Yandex yang notabene aplikasi lokal Rusia, berhasil menaikkan sahamnya berkat pertumbuhan pencarian di perangkat mobile.

(Dam/Jek)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:Â