Sukses

Ilmuwan Temukan Bukti Kehidupan di Planet Saturnus

Ilmuwan mengidentifikasi molekul yang dideteksi oleh pesawat Cassini setelah dikeluarkan dalam butiran es melalui retakan di cangkang es bulan Saturnus.

Jakarta - Meski Cassini telah 'mati', pesawat yang bertugas mengeksplorasi Planet Saturnus tersebut ternyata menyimpan banyak penemuan menarik, salah satunya adalah bukti kehidupan dari salah satu Bulan yang mengitari si Planet Cincin, yakni Enceladus.

Frank Postberg dan Nozair Khawaja dari Universitas Heidelberg Jerman, mengidentifikasi molekul yang dideteksi oleh pesawat Cassini setelah dikeluarkan dalam butiran es melalui retakan di cangkang es Enceladus. Untuk diketahui, tertutup di dalam es, suhu di bulan Enceladus hanya mencapai -198 derajat Celsius.

"Ini adalah deteksi organik kompleks pertama yang datang dari dunia air luar angkasa," kata Postberg sebagaimana dikutip DW, Kamis (2/7/2018).

Cassini sebelumnya terbang mendekati Enceladus pada 2005 dan menemukan molekul organik yang lebih ringan.

Molekul yang lebih besar seperti yang baru-baru ini terdeteksi diciptakan oleh proses kimia yang dapat mendukung kehidupan, demikian menurut Badan Antariksa Eropa, ESA.

"Ini adalah yang terbaru dalam serangkaian panjang penemuan Cassini, ia telah menggambarkan Enceladus sebagai alam air yang berpotensi dihuni," kata ESA.

Postberg mengatakan, dia yakin molekul-molekul itu berasal dari tekanan tinggi dan suhu hangat di dalam inti bulan sebelum menuju ke permukaan air dan menyelinap melalui retakan di permukaan es.

Cassini merupakan pesawat eksplorasi yang diemban dalam misi khusus bersama ESA, Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) dan Badan Antariksa Italia (ASI). Tugasnya berakhir pada 2017.

 

2 dari 3 halaman

Misi Saturnus Berakhir Tahun Lalu

Misi eksplorasi Saturnus sudah berakhir sejak tahun lalu. Kala itu, astronom NASA di Bumi, tidak bisa menahan tangis haru sesaat setelah pesawat eksplorasinya--Cassini--terjun dan 'mati' di atmosfer Planet Saturnus.

Beberapa detik sebelum Cassini meledakkan dirinya, ia mengirim data dan sinyal terakhir ke NASA. Berdasarkan informasi yang dilansir CNN, Sabtu (16/9/2017), pesawat tersebut menenggelamkan dirinya di bagian atmosfer planet dalam kecepatan cepat.

Proses "Death Dive" terjadi pukul 6.30 pagi waktu Amerika Serikat. Adapun data terakhir diterima oleh tim astronom Deep Space Network di Canberra, Australia satu jam setengah setelah Cassini meledak. Data terakhir Cassini berisikan transkrip terkait komposisi planet.

Menurut penjelasan tim astronom NASA, saat Cassini hendak meledakkan diri, antena pesawat bergerak ke arah Bumi. Hal tersebut dilakukan agar proses pengiriman data berlangsung lancar tanpa hambatan.

Setelah itu, barulah Cassini meledak. Komponennya tersebar ke seluruh penjuru atmosfer. Proses peledakkan dramatis ini, seolah membuat Cassini telah menjadi bagian dari Saturnus.

"Cassini adalah pesawat luar angkasa yang sempurna," ujar Julie Webster, Chief Operations Cassini. "Ia telah melakukan semua tugasnya dengan baik, sesuai dengan yang kita rencanakan" tambahnya.

Cassini sendiri telah mencetak rekor karena belum pernah ada pesawat luar angkasa NASA yang sedekat itu dengan Saturnus. Karena itu, pencapaian ini diklaim harus diapresiasi dunia.

Pesawat luar angkasa tersebut diketahui telah mengorbit di Planet Cincin selama 13 tahun lamanya. Dalam rangka 'merayakan' akhir masa tugas Cassini, NASA juga merilis video terbaru yang memperlihatkan hari-hari terakhir pesawat itu.

Secara keseluruhan, video mengulas pencapaian besar Cassini hingga masa akhir pesawat yang disebut NASA dengan istilah "Grand Finale". Sebelum mendekati atmosfer planet, Cassini sendiri sudah melewati bulan Saturnus, Titan, pada April 2017. Fase ini dinilai memiliki risiko cukup berbahaya.

Pasalnya, Cassini harus bergerak cepat di antara atmosfer cincin dan Planet Saturnus demi mengumpulkan data penting terkait berapa usia cincin dan komposisi dari atmosfer planet.

"Meski ini merupakan tugas terakhir Cassini, kami anggap ini sebagai misi baru," kata Project Scientist Lead di NASA Jet Propulsion Laboratory Linda Spilker.

"Kami menerbangkan sebuah pesawat eksplorasi ke tempat yang belum pernah dijamah. Ketika ia terbang ke tempat yang baru, sudah jadi kewajiban baginya untuk menemukan hal yang menakjubkan," ia melanjutkan.

Puncak eksplorasi Cassini sudah terjadi pada 29 November 2016. Ia mengorbit sebuah wilayah yang disebut "F-Ring" usai mengorbit Saturnus sebanyak 22 kali pada saat itu.

 

3 dari 3 halaman

Sekilas Cassini dan Saturnus

Saturnus boleh dibilang adalah planet yang penuh dengan pesona dan kemisteriusan. Ia merupakan 1 dari 5 planet yang bisa dilihat dengan mata telanjang, dalam rupa sebagai bintang paling terang di langit malam.

Pada tahun 1610, Galileo Galilei menjadi yang pertama mengamatinya menggunakan teleskop. Namun, alat optik itu begitu keruh, kualitas lensanya kurang, resolusinya pun terbatas.

Dengan perangkat yang masih sederhana ini Galileo mengamati adanya 'pendamping' yang selalu berada di samping Saturnus.

Sang ilmuwan pun lantas menyebut Saturnus sebagai planet kembar tiga, yang hampir bersinggungan. Di mana yang di tengah memiliki ukuran sekitar 3 kali lebih besar dibandingkan yang lainnya. Padahal pendamping itu sejatinya adalah objek mirip cincin yang melingkari planet keenam dari Matahari itu.

Pada 1659, astronom asal Belanda Christiaan Huygens yang juga mengamati Saturnus, menemukan planet tersebut ternyata memiliki cincin.

Huygens juga menjadi yang pertama menemukan Titan, satelit Saturnus yang disebut-sebut punya potensi menopang kehidupan karena punya kemiripan dengan planet manusia.

Dengan makin canggihnya teleskop, manusia mengetahui cincin Saturnus sejatinya adalah sistem partikel.

Rasa penasaran manusia tentang 'planet cincin' itu tak pernah kanas. Sejarah mencatat, pada tanggal 1 Juli 2004, pesawat luar angkasa Cassini-Huygens, dalam misi kolaborasi antara Amerika dan Uni Eropa berhasil masuk dalam orbit Saturnus.

Reporter: DW

Sumber: DW

(Jek)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Â