Liputan6.com, Jakarta - Facebook dan 10 pemasang iklan digugat oleh kelompok pekerja di Amerika Serikat (AS) karena dinilai memasang iklan lowongan kerja yang diskriminasi terhadap jenis kelamin. Iklan pekerjaan yang dipermasalahkan itu hanya bisa dilihat oleh pengguna laki-laki.
Dilansir The Guardian, Kamis (20/9/2018), kasus diskriminasi ini diangkat oleh tiga orang pekerja perempuan dan serikat pekerja Communications Workers of America, yang mewakili ratusan ribu pekerja perempuan.
Mereka mengklaim sebagian besar iklan yang menargetkan laki-laki berasal dari pemasang iklan di bidang dominan jenis kelamin yang sama, seperti kepolisian.
Advertisement
"Saya mendengar cerita tentang ketika orang mencari pekerjaan di iklan baris dan huruf besar bertuliskan, 'dibutuhkan bantuan - laki-laki atau 'dibutuhkan bantuan-perempuan'. Saya kaget menemukan bahwa diskriminasi ini masih terjadi, bahkan di online," tutur pencari kerja dan yang turut menggugat kasus ini, Linda Bradley.
Baca Juga
Terlepas dari kasus ini, platform iklan berbayar Facebook juga telah dikecam. Pasalnya, platform iklan itu memungkinkan pengiklan untuk melakukan diskriminasi berdasarkan ras, asal kebangsaan, usia dan jenis kelamin.
Ada dugaan bahwa Facebook menyediakan iklan lowongan kerja dengan memungkinkan pengiklan bisa memilih siapa yang mereka inginkan berdasarkan usia dan jenis kelamin. Perusahaan menghasilkan uang dari iklan yang mengecualikan perempuan dan pekerja berusia lebih tua.
Â
Pemerintah Bisa Larang Iklan Lowongan Kerja
Menargetkan iklan lowongan kerja berdasarkan jenis kelamin merupakan pelanggaran hukum di bawah Undang-Undang hak sipil, negara bagian dan federal.
Dalam keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) pada 1973, pengadilan memutuskan pemerintah bisa melarang iklan lowongan kerja yang mendiskriminasikan targetnya berdasarkan jenis kelamin.
"Internet tidak menghapus Undang-Undang hak sipil kita. Itu melanggar hukum jika seorang pemilik pekerjaan menggunakan Facebook untuk menolak iklan lowongan kerja bagi perempuan," ungkap pengacara di firma hukum hak-hak pekerja Outten & Golden, Romer-Friedman.
Ia melanjutkan, "Terakhir kali saya memeriksanya, Anda tidak harus menjadi pria untuk menjadi sopir truk atau petugas kepolisian. Namun, Facebook dan yang membuka lowongan kerja berperilaku seperti tahun 1950-an, sebelum Undang-Undang ketenagakerjaan federal melarang diskriminasi jenis kelamin."
Platform online umumnya tidak bertanggungjawab atas konten yang dibuat oleh orang lain. Namun, tuduhan tersebut menyatakan Facebook dapat bertanggungjawab secara hukum, karena bertindak sebagai perekrut yang menghubungkan pemilik lowongan kerja dengan calon karyawan.
Di sisi lain, pihak Facebook menolak keras ada diskriminasi di dalam layanannya.
"Tidak ada tempat untuk diskriminasi di Facebook, itu sangat dilarang dalam kebijakan kami dan selama setahun terakhir, kami memperkuat sistem untuk memberikan perlindungan lebih lanjut terhadap penyalahgunaan," demikian keterangan seorang juru bicara Facebook dalam keterangan resminya.
"Kami sedang meninjau keluhan dan berharap untuk membela praktik kami," ujarnya.
Advertisement
Liputan6.com Resmi Jadi Mitra Fact-Checking Facebook di Indonesia
Terlepas dari permasalah iklan lowongan kerja, Facebook baru saja mengumumkan perluasan kemitraan dalam program third-party fact-checking di Indonesia. Kali ini, raksasa media sosial itu bekerja sama dengan Liputan6.com, Tempo, dan Mafindo.
Ketiga mitra tersebut telah mendapatkan sertifikasi dari jaringan Internasional Pemeriksa Fakta independen. Ketiganya akan bergabung dengan mitra lain, seperti Tirto.id dan AFP.
Para mitra nantinya berperan untuk meninjau berita yang ada di Facebook, memeriksa fakta, termasuk menilai akurasi konten berita tersebut.
"Kami menyambut baik bergabungnya Liputan6.com, Tempo, dan Mafindo dalam program third-party-fact-checking untuk membantu verifikasi berita yang dilaporkan komunitas kami di Indonesia," tutur News Partnership Lead for Facebook Indonesia, Alice Budisatrijo
Fact-Checking Dapat Mengurangi Misinformasi
Fact-checking merupakan bentuk komitmen untuk mengurangi penyebaran berita palsu di Facebook, terutama menjelang Pemilihan Umum 2019.
Nantinya, saat fact-checker menilai berita yang mengandung misinformasi, Facebook akan menurunkan visibilitas berita tersebut di News Feed untuk mengurangi penyebarannya.
Cara ini diharapkan dapat menghentikan penyebaran berita palsu dan mengurangi jumlah orang yang melihatnya.
Selain itu, halaman dan domain yang berulang kali menyebarkan berita palsu juga akan mengalami penurunan distribusi dan kehilangan kemampuan monetisasi.
Hingga saat ini, sebagian besar mitra fact-checking lebih fokus untuk meninjau artikel pada platform Facebook.
Namun, untuk mencegah penyebaran berita palsu dalam bentuk lain, Facebook juga membagi kemampuan meninjau foto dan video dari para fact-checker.
"Kami sadar hal ini akan menjadi komitmen jangka panjang karena taktik yang digunakan pelaku kejahatan selalu berubah. Karena itu, kami mengambil tindakan jangka pendek dan di saat yang sama berinvestasi dalam hal kemitraan, alat, dan teknologi," jelas Alice.
(Din/Ysl)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Advertisement