Sukses

Pemerintah Dinilai Beri Kelonggaran soal Lokalisasi Data Center

Naskah revisi yang ada sekarang dinilai sebagai bentuk relaksasi (pengenduran/kelonggaran) terhadap keharusan lokalisasi data dan dianggap tidak ideal.

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah pemangku kepentingan mendesak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menunda revisi Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE).

Naskah revisi yang ada sekarang dinilai sebagai bentuk relaksasi (pengenduran/kelonggaran) terhadap keharusan lokalisasi data dan dianggap tidak ideal, mengingat Indonesia belum memiliki undang-undang (UU) yang berkaitan dengan perlindungan data.

Hal tersebut disampaikan oleh sejumlah pemangku kepentingan, termasuk Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), asosiasi data center IDPro, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), dan Asosiasi Cloud Computinh Indonesia (ACCI).

Mereka keberatan dengan perubahan salah satu isi PP, yang menyebutkan hanya data yang dianggap strategis harus berada di Indonesia.

Di sisi lain, pengelolaan, pemrosesan, dan penyimpanan data elektronik tinggi dan rendah dapat dilakukan di luar wilayah Indonesia dengan persyaratan. Ketentuan teknisnya nanti diatur oleh sektor-sektor terkait.

Ketua Umum Mastel, Kristiono, mengatakan idealnya, Indonesia harus memiliki UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) sebelum memutuskan merevisi PP tersebut. Jika tidak, dikhawatirkan akan ada berbagai perbedaan pemaham soal klasifikasi data berisiko tinggi dan rendah di berbagai sektor.

“Data itu sangat penting, atau bisa dikatakan data is the new oil. Oleh sebab itu, jangan ada relaksasi tanpa ada UU yang melindungi data itu. Apalagi, UU PDP juga sudah masuk Prolegnas (Program Legislasi) 2019 di DPR,” tutur Kristiono dalam acara Press Conference Mastel terkait Rencana Revisi PP 82/2012 di Jakarta, Selasa (6/11/2018).

Ketentuan teknis soal data elektronik tinggi dan rendah yang nanti diserahkan ke sektor-sektor terkait, akan memunculkan pemahamam berbeda.

Akan sangat berisiko jika pemahamam soal data berbeda, sehingga bentuk relaksasi regulasi semacam ini dinilai akan berdampak sistematik, termasuk terhadap pertumbuhan industri nasional, perlindungan data, dampak sosial ekonomi dan berbagai hal lainnya.

“Kebijakan dan regulasi mengenai hal ini memiliki dampak luas, tidak hanya soal lokalisasi data, tapi juga berkaitan dengan kepemilikan data, hak untuk mengakses data, kendali atas data dan pemanfaatannya untuk kepentingan nasional,” lanjutnya.

2 dari 3 halaman

Investasi Data Center di Indonesia Bisa Turun

Pengurus Besar Bendahara IDPro, Hendra Suryakusuma, mengatakan jika terjadi relaksasi untuk perusahaan asing disebabkan revisi PP 82/2012 ini, maka investasi data center di Indonesia akan mengalami penurunan.

Mengutip data Frost & Sullivan, pertumbuhan investasi data center sejak 2014 sampai sekarang berada di angka 20-30 persen per tahun.

“Sejak PP 82 keluar 2012, kami lihat pertumbuhan data center di Indonesia didorong sangat cepat oleh regulasi, penetrasi internet dan cloud computing. Investasi data center di Indonesia pada 2014 saja mencapai US$ 430-an juta,” ujar Hendra.

Berdasarkan riset Ipsos Business Consulting, katanya, kapitalisasi pasar data center di Indonesia pada rentang 2015 ke 2018, tumbuh dari US$ 1,1 miliar menjadi US$ 2,3 miliar.

Kemudian, jika nanti revisi PP 82/2018 disahkan, maka diyakini akan membuat nilai investasi tersebut menurun. Pasalnya, revisi tersebut dinilai memberikan kelonggaran pada perusahaan-perusahaan asing untuk tidak memiliki data center di Indonesia.

“Yang kami lihat dari aspek pertumbuhan bisnis, kemungkinan akan ada penurunan karena terjadi kelonggaran atau relaksasi tadi. Karena kan perusahaan-perusahaan tidak diwajibkan lagi memiliki data center dan cloud di sini,” ungkapnya.

 

3 dari 3 halaman

Mempertimbangkan Revisi PP

Berdasarkan sejumlah pertimbangan di atas, para pemangku kepentingan berharap pemerintah dapat mempetimbangkan lagi revisi PP tersebut.

Revisi PP sendiri telah mamasuki tahap akhir dan sedang berada di Sekretariat Negara (Setneg) untuk sinkronisasi sebelum disahkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pemerintah sendiri beralasan, revisi dilakukan untuk menyesuaikan aturan dengan kondisi terkini.

Menurut Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Aptika) Kemkominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, perubahan dilakukan karena kewajiban penempatan fisik data center dan data recovery center tidak sesuai tujuannya.

Ia beralasan, kepentingan utama pemerintah adalah menjamin data, bukan sekadar fisik. Belum lagi, klasifikasi data yang perlu diletakkan di Indonesia juga belum ada, sehingga dikhawatirkan akan membingungkan pelaku usaha.

“Kalau tidak dilakukan perubahan, kemungkinan akan banyak penyelenggara sistem elektronik tidak menaatinya sebab belum ada kepastian mengenai jaminan keamanan informasi, termasuk pengelolaan data elektronik,” ujar Semuel pada akhir bulan lalu.

(Din/Jek)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: