Liputan6.com, Kampala - Pada pertengahan 2018, pemerintah Uganda mulai memberlakukan pajak media sosial.Â
Imbasnya, pengguna yang ingin mengakses media sosial seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, harus membayar pajak.
Advertisement
Baca Juga
Dilansir dari The Next Web, Selasa (19/2/2019), berdasarkan data yang dirilis oleh Komisi Komunikasi Uganda (UCC), pajak telah berdampak signifikan pada jumlah pengguna internet di negara Afrika Timur tersebut.
Tercatat, penurunan sebesar tiga juta pengguna internet berlangsung selama tiga bulan.
Menariknya, menurut UCC, hanya sekitar setengah dari pengguna internet di Uganda yang benar-benar membayar pajak media sosial.
Hal itu membuat pendapatan pajak yang terkumpul jauh dari harapan pemerintah saat memperkenalkan aturan tersebut.
"Dalam tiga bulan terakhir dari kuartal ketiga 2018 jumlah pembayar pajak OTT dan angka pendapatannya berada dalam tren menurun," ungkap UCC.
Sebagian masyarakat menghubungkan ini dengan tujuan untuk menghambat kebebasan berbicara orang-orang. dengan memperkenalkan biaya tambahan di samping membayar akses internet.
Menurut statistik, beberapa orang memilih untuk sama sekali memangkas penggunaan media sosial seperti yang dapat dilihat dari penurunan pelanggan internet.
Lainnya memilih menggunakan aplikasi Virtual Private Network (VPN) untuk menghindari pajak.
Facebook, Twitter, dan WhatsApp Jadi 'Barang Haram' di Uganda
Sekadar informasi, Facebook, Twitter, dan WhatsApp sebenarnya sempat menjadi layanan teknologi terlarang di Uganda. Bahkan, pada 2016, negara tersebut sempat memblokir akses ke tiga aplikasi itu.
Pemerintah negara tersebut memang diketahui sudah beberapa kali memblokir akses terhadap media sosial. Keputusan pembokiran ini didukung kuat oleh Presiden Uganda, Yoweri Museveni.
Menurut kabar yang beredar, banyak yang tidak puas dengan kinerja Museveni sebagai pemimpin negara yang berada di timur Afrika tersebut selama tiga dekade terakhir.
Akibatnya, banyak yang menyuarakan petisi untuk melengserkan Museveni di media sosial. Museveni pun geram dan memblokir semua akses media sosial untuk pertama kalinya pada Februari 2016 lalu.
Advertisement
Alasan Museveni
Museveni berdalih, media sosial bisa menjadi propaganda dan dimensi baru di mata masyarakat Uganda.
"Pemerintah sendiri tahu, Museveni bukan dipilih kebanyakan warga negara Uganda. Yang ditakutkan, mereka akan melakukan propaganda 'gerakan bawah tanah' untuk menggulung Museveni," kata Jeff Wokulira Ssebaggala, analis politik dan internet yang juga Chief Executive Unwanted Witness, sebuah organisasi nonprofit Uganda.
Tak hanya media sosial, beberapa media pemberitaan pun dilarang untuk menyebarkan informasi negatif soal Museveni. Tahun ini, sekumpulan jurnalis lokal Uganda ditangkap karena memberitakan informasi bahwa Museveni seorang diktator besar.
(Surya Handika R/Jek)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: