Liputan6.com, Jakarta Transaksi palsu dan manipulasi yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan di berbagai platform digital termasuk ride hailing telah memberikan pengaruh besar pada sektor perekonomian. Cybersource SEA Fraud Benchmark 2018 melaporkan bahwa 1,6 persen pendapatan e-commerce di Asia Tenggara hilang akibat tindak kecurangan. Khusus Indonesia, kerugian yang ditimbulkan akibat tindak kecurangan sebesar 3,2 persen.
Guna mengantisipasi risiko tindak kejahatan dan kecurangan, selama beberapa tahun ini Grab yang kini berstatus startup decacorn melakukan investasi besar untuk mengembangkan sistem yang lebih kuat dan didukung machine learning serta kecerdasan buatan untuk mengidentifikasi dan mencegah kecurangan pada platform Grab.
"Setiap hari, machine learning kami menganalisis jutaan data secara realtime untuk mendeteksi pola kecurangan, baik yang telah ada maupun baru. Tindak kecurangan terus berevolusi, oleh karenanya kami membangun algoritma yang berevolusi dan mempelajari polanya sehingga selangkah lebih maju dari kejahatan pelaku," kata Head of User Trust Grab, Wui Ngiap Foo di Jakarta, Rabu (13/3/2019).
Advertisement
Hasilnya, menurut penelitian independen Spire Research and Consulting, tingkat penipuan di Grab kurang dari satu persen ketimbang kompetitor. Keberhasilan menurunkan tindak kecurangan ini membuat Grab membuka teknologi keamanannya ini untuk para partner bisnisnya.
"Kami ingin berbagi keahlian yang kami miliki dengan para mitra yang mungkin menghadapi masalah yang sama. Kita harus bahu membahu mengatasi masalah demi sistem teknologi yang lebih kuat di Asia Tenggara," tutur Wui Ngiap Foo.
Grab Defence
Grab Defence, berbasis pada sistem API kecerdasan buatan dan machine learning, hingga database yang dimilik Grab. Grab Defence terdiri dari tiga hal, yakni event risk management suite yang memungkinkan pelaku bisnis bisa menilai risiko dari peristiwa atau transaksi.
"Ini terdiri dari serangkaian API untuk mengevaluasi risiko yang didukung oleh machine learning yang dipakai mitra bisnis untuk memprediksi risiko secara realtime, seperti investigasi atau analisis perilaku mencurigakan," katanya.
Kedua adalah entity intelligence services, yakni penggunaan database Grab serta keahlian mengidentifikasi berbagai jenis entitas perilaku kejahatan, misalnya nomor telepon, alamat email, dan lain-lain.
Contohnya, mitra bisnis bisa memakai database Grab untuk mendapatkan informasi nilai risiko dari pengguna baru. Jika angka risikonya rendah, mereka bisa mengizinkan pengguna masuk aplikasi tanpa lewat langkah tambahan.
Kemudian yang ketiga adalah device and network intelligence services yang mampu mendeteksi pelaku kejahatan menggunkan data dari perangkat pengguna.
"Setiap bisnis yang melakukan transaksi online diuntungkan dengan Grab Defence. Pasalnya, Grab telah mendeteksi miliaran transaksi tiap tahunnya, sehingga mitra bisnis bisa memakai database dan teknologi Grab Defence untuk membantu keamanan bisnisnya," kata dia.
Dengan Grab Defence, para mitra bisnis Grab dapat memanfaatkan kemampuan data perusahaan yang teruji dalam mengurangi tindak kecurangan, guna memperkuat ekosistem teknologi dan arus transaksi.
Presiden Grab Indonesia, Ridzki Kramadibrata mengungkapkan saat ini partner bisnis seperti OVO dan Kudo sudah bisa menggunakan Grab Defence, sementara partner Grab lainnya akan bisa menggunakan Grab Defence pada akhir 2019.
Kini Grab telah menjangkau 336 kota yang ada di 8 negara, seperti Malaysia, Singapura, Indonesia, Filipina, Kamboja, Thailand, Myanmar dan Vietnam. Bahkan, sebagai super app terkemuka di Asia Tenggara, Grab tak hanya menghadirkan layanan ride-hailing semata.
Grab bahkan kini menawarkan solusi sehari-hari dengan layanan pengiriman barang dan makanan, pembayaran mobile, hingga hiburan digital. Dengan filosofi platform terbuka yang diusungnya, Grab bahkan mampu menyatukan para mitra untuk membuat hidup lebih bagi masyarakat di Asia Tenggara.
Â
Â
(Adv)