Liputan6.com, Jakarta - Psikolog Universitas Indonesia Anna Surti Ariani menilai, selain gim PUBG yang mengandung kekerasan, ada banyak referensi lain yang membuat pengguna melakukan perilaku agresif.
Psikolog anak dan keluarga ini tak menampik bahwa semua gim yang mengandung kekerasan memang bisa memberikan dampak negatif bagi pemain.
"Memberi dampak negatifnya itu karena bisa menjadi 'referensi' bagi si pemain. Ketika mengalami kondisi tertentu, bisa saja referensi ini diaktifkan, sehingga pemain lebih rentan meniru atau melakukan perilaku agresif yang dimunculkan di gimnya," kata perempuan yang biasa disapa Nina kepada Tekno Liputan6.com lewat pesan singkat, Selasa (26/3/2019).
Advertisement
Baca Juga
Namun demikian, Nina mengatakan, perlu disadari bahwa referensi itu tidak hanya berasal dari gim yang dimainkan, tetapi juga dari berbagai hal.
Nina mencontohkan, misalnya dari perkataan atau sikap orang lain di sekitarnya hingga pendidikan yang didapat di sekolah, keluarga, masyarakat, dan lain-lain.
Tidak hanya itu, Nina juga mengatakan, yang menentukan apakah main PUBG menjadi perilaku menggunakan senjata ada banyak hal.
"Misalnya kepribadian, jika pemain pada dasarnya berkepribadian matang dan penuh cinta kasih, maka tentunya tidak terlalu mudah terpengaruh gim," katanya.
Faktor lain adalah lingkungan. Nina mengatakan, jika lingkungan cenderung kasar dan agresif, akan lebih besar kemungkinan bagi seseorang terdorong melakukan perilaku agresif dibandingkan jika lingkungannya tenang atau bijak.
Ada pula faktor kemampuan diri. "Misalnya kalau ia memang mampu menggunakan senjata dan tubuhnya kuat, lebih mungkin meniru dibandingkan dengan yang tubuhnya lemah dan mengalami kesulitan menggunakan senjata," kata Nina.
Moralitas dan Batasan Usia
Kemudian, hal lain yang menentukan perilaku seseorang adalah moralitas.
"Kalau seseorang menyadari bahwa membunuh orang lain baik teman maupun lawan itu salah, tentunya dia tidak akan begitu saja membunuh," ujar Nina.
Nina membenarkan bahwa usia dewasa memang lebih matang ketimbang anak-anak yang mudah terpengaruh.
Untuk itu, salah satu hal yang bisa dilakukan adalah membatasi usia pemain. "Membatasi usia pemain memang salah satunya, sebetulnya gim ini di berbagai negara sudah dibatasi jelas usianya. Hanya orangtua seringkali tidak melakukan monitoring terhadap penggunaan perangkat anaknya," kata Nina.
Oleh karenanya, akan percuma adanya pembatasan usia main gim jika orangtuanya melakukan pembiaran.
Menurut Nina, hal lain yang juga dapat dilakukan adalah perlunya diskusi mendalam dengan anak atau orang dewasa.
"Topik diskusi misalnya, apa yang menurut dia mungkin atau tidak mungkin, layak atau tidak layak terjadi di lingkungan masyarakat sekitarnya dan mengapa," ujarnya.
Kemudian, topik diskusi lainnya terkait dengan apa yang sebaiknya ditiru atau dihindari serta alasannya. Kemudian, jika bertemu dengan orang-orang seperti di gim, apa yang bisa dilakukan, dan lain-lain.
"Diskusi itu penting untuk menumbuhkan pemahaman lebih positif terkait kehidupan," tutur Nina.
Advertisement
Boleh Haramkan PUBG, Tapi...
Terkait dengan fatwa haram yang kini dikaji MUI tentang gim PUBG, Nina mengatakan hal itu sangat boleh. Namun demikian, ia meminta agar tidak menutup mata, seakan-akan jika diharamkan, persoalan akan tuntas.
"Kita perlu menyadari bahwa perilaku agresif itu betul-betul banyak lho di sekitar kita dan itu menjadi referensi real untuk anak-anak dan remaja," katanya.
Contohnya, kata Nina, ada orang yang begitu mudahnya mengatakan kata 'bunuh' kepada orang lain yang dianggap tidak selaras pandangannya.
"Kalau anak-anak kita nggak main gim agresif tapi di sekelilingnya orang-orang ngomong dan berperilaku kasar, tentunya lebih rentan terpengaruh kan," katanya.
(Tin/Isk)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: