Sukses

Agar Cyberbullying Tak Menjamur di Media Sosial, Berantas dengan 3 Cara Ini

Untuk mencegah kejadian yang sama berulang, Retno mengingatkan warganet untuk memahami literasi 3B ketika hendak menggunakan media sosial.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menegaskan aksi cyberbullying di media sosial ternyata lebih berbahaya dibanding tindakan di dunia nyata.

Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti mencontohkan aksi perundungan di media sosial yang dilakukan warganet bisa dilakukan sangat cepat dan masif ketika muncul suatu peristiwa tertentu.

Contoh terbaru adalah kasus kekerasan yang dialami oleh siswi SMP di Pontianak, Kalimantan Barat, AU.

Saat kasus itu mencuat, warganet dengan cepat melakukan aksi bully kepada siswi berinisial A maupun para pelaku.

Untuk mencegah kejadian yang sama berulang, Retno mengingatkan warganet untuk memahami literasi 3B ketika hendak menggunakan media sosial.

" B pertama itu memastikan, benar-benar apakah ada peristiwa itu," ujar Retno di Gedung KPAI, Jakarta, kepada Dream.

Retno melanjutkan, B kedua yakni baik atau tidak melakukan penyebaran berita yang ada di media sosial.

" B ketiga, bermanfaatkah apa yang disebarkan," ucap dia.

KPAI meminta kepada warganet untuk berhenti melakukan perundungan di media sosial. Karena, hal itu lebih berbahaya dibanding kasus yang sedang dialami oleh anak korban dan anak pelaku.

"Ada anak yang bunuh diri akibat cyberbullying," kata Retno mengingatkan bahaya perundungan di media sosial.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Studi: Tindak Bullying di Internet Meningkat

Pada awal kemunculan aplikasi BBM, WhatsApp, dan aplikasi lainnya, menerima pesan terasa menyenangkan. Namun tak demikian saat ini. 

Peredaran pesan berbau spam, penipuan berkedok hadiah, serta upaya peretasan dari nomor tak dikenal membuat pengguna aplikasi ini resah.

Meski begitu, rupanya ada hal yang juga tak kalah marak terjadi di dunia internet. Berdasarkan studi terbaru dari Pew Reseach Center yang Tekno Liputan6.com kutip dari Ubergizmo, Kamis (13/7/2017), selama beberapa tahun terakhir jumlah berbagai bentuk perundungan (bullying) online meningkat.

Hasil survei menunjukkan, 41 persen dari responden berusia dewasa mengklaim pernah mengalami pelecehan secara online. Dibandingkan tahun 2014, yakni saat studi serupa dilakukan, hanya sekitar 36 persen responden dewasa yang mengaku jadi korban pelecehan di internet. Dengan begitu, bisa dikatakan terdapat peningkatan pelecehan secara online setidaknya 6 persen selama 3 tahun terakhir.

Disebutkan, bentuk bullying secara online pun beragam. Misalnya saja, memanggil nama dengan panggilan mengejek, mempermalukan orang di hadapan umum, ancaman fisik, hingga pelecehan seksual secara online.

Menariknya, studi yang sama juga mengungkapkan bahwa tindakan online stalking alias perilaku menguntit seseorang secara online masih tetap berada di angka 7 persen selama tiga tahun terakhir.

Sebenarnya pencegahan terhadap tindakan bullying atau pelecehan secara online sudah dilakukan melalui berbagai fitur yang diperkenalkan media sosial seperti Facebook dan Twitter. Sebut saja opsi pemblokiran spam.

Sayangnya, masih perlu dilihat lebih lanjut apakah fitur tersebut akan berdampak mengurangi tindak bullying secara online.

Â