Sukses

Kandungan Merkuri di Lampu Neon Bekas Berbahaya Bagi Manusia

Bahan kimia ini sangat berbahaya karena beberapa milligram saja sudah bisa meracuni metabolisme tubuh manusia.

Liputan6.com, Jakarta - Dalam kehidupan sekarang, kita hampir tidak bisa lepas dari penerangan. Lampu sudah dianggap layaknya kebutuhan pokok. Namun, pengguna seringkali tidak paham kalau lampu yang mereka miliki belum mendukung konsep Go Green. 

Sampai saat ini, ada tiga teknologi lampu yang beredar. Pertama, lampu pijar, contohnya seperti lampu bohlam atau bolep.

Kedua, lampu pendar yaitu lampu yang berbentuk tabung panjang atau biasa disebut lampu TL (tubular lamp) atau lampu neon.

Selain itu ada juga bentuk lain yang berukuran lebih kecil dengan tabung ditekuk menyerupai spiral, yang dikenal dengan sebutan lampu hemat energi (LHE).

Lampu pendar memiliki beberapa kelebihan yaitu dapat menghemat pemakaian aliran listrik dan otomatis juga menghemat biaya rekening PLN.

Umur lampu juga lebih panjang dibandingkan lampu pijar serta diharapkan dapat menghambat pemanasan global. Namun, ternyata lampu pendar ini mempunyai dampak atau efek samping yang berbahaya.

Bayangkan saja, di dalam setiap lampu pendar terdapat 5 milligram merkuri, yang berbentuk uap atau bubuk.

Padahal, bahan kimia ini sangat berbahaya karena beberapa milligram saja sudah bisa meracuni metabolisme tubuh manusia.

Merkuri dapat berdampak buruk pada pada anak-anak, yaitu menurunkan IQ dan penurunan IQ ini tentu saja sangat berdampak sampai usia lanjut.

Pasalnya, uap raksa ini adalah neurotoksin, racun yang sangat berbahaya dan berakibat fatal pada otak dan ginjal. Jika terakumulasi dalam tubuh dapat merusak sistem syaraf, janin dalam kandungan, dan jaringan tubuh.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Lampu LED

Karenanya, diciptakan lampu jenis ketiga, yaitu LED (Light Emitting Diode).

Lampu jenis ini sangat hemat energi dan lebih ramah terhadap lingkungan. Konsumsi listrik lampu LED hanya sebesar 20 persen dari lampu pijar biasa. Atau dengan kata lain, dapat berhemat 80 persen dari konsumsi listrik.

Bahkan setelah dihitung, setelah 18 bulan pemakaian biaya penghematannya sudah seharga lampu itu sendiri (breakeven point).

Panas yang dihasilkan juga sangat minim, karena lampu LED lebih optimal dalam mengubah energi listrik menjadi cahaya.

Hal tersebut membuat ruangan tetap nyaman, penggunaan pendingin ruangan (AC) pun dapat lebih dihemat.

Lampu LED usianya rata-rata 50.000 -100.000 jam. Jika dihitung penggunaan rata-rata selama 12 jam sehari, maka lampu LED ini dapat bertahan lebih dari 10 tahun. 

“Sayangnya, walaupun lampu LED hemat dan bebas bahan kimia berbahaya yakni tanpa timah dan merkuri, bahkan dari emisi ultra violet, pada kenyataannya, masih banyak masyarakat yang belum bisa menggunakan karena harganya yang tergolong tinggi,” ujar Gufron Mahmud, Direktur Utama PT Arah Environmental Indonesia.

Masyarakat pun masih banyak yang menggunakan lampu pendar. Padahal, berdasarkan penelitian dari Puslitbangtek Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi yang dipublikasikan dalam jurnal Ketenagalistrikan Dan Energi Terbarukan Vol. 12 No. 2 Desember 2013, menyebutkan bahwa data historis menunjukkan penetrasi LHE yang tergolong lampu pendar di masyarakat meningkat lebih dari 20 kali pada 2011 dibandingkan dengan penetrasi pada 2000.

Diperkirakan penetrasi LHE ini akan terus meningkat tajam sampai dengan 2020 dan setelah 2020 hingga 2030 akan tetap terjadi peningkatan tetapi dengan nilai yang relatif kecil.

3 dari 3 halaman

570 Juta Unit Limbah LHE

Pada 2020, laju penetrasi LHE diperkirakan sekitar 7,2 unit per rumah tangga dan di 2030 menjadi sekitar 7,94 unit per rumah tangga.

Peningkatan penjualan LHE juga diperkirakan terjadi hingga 2030 yaitu sekitar 578 juta unit dan limbah LHE terbuang sekitar 570 juta unit.

Secara kumulatif, limbah LHE terbuang hingga 2030 diperkirakan sekitar 9.068 juta unit dan limbah merkuri yang menyertainya sekitar 45 ton.

Bayangkan dampaknya terhadap lingkungan, jika limbah tersebut tidak dikelola dengan baik, maka logam berat maupun senyawa berbahaya yang terkandung di LHE, akan mempengaruhi kesehatan, baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang.

“Kami tidak menginginkan hal itu terjadi. Itu sebabnya, kami mengeluarkan Ecofren yang merupakan solusi pengelolaan limbah dan sampah terpadu untuk segmen bisnis dan sarana komersial. Termasuk juga tentu limbah lampu,” ungkap Gufron.

Gufron menambahkan, “Melalui Ecofren ini, kami berinisiatif untuk mengedukasi dan membantu masyarakat dan para pelaku usaha dalam mengelola lampu yang juga tergolong limbah bahan berbahaya dan beracun (Limbah B3) ini secara tepat dan sesuai dengan standar pengendalian pencemaran lingkungan hidup”.

Dengan demikian, gunakan lampu tanpa merkuri, atau paling tidak kumpulkan limbah lampu pendar atau LHE kemudian diserahkan pada perusahaan pengelola limbah yang memiliki izin seperti PT Arah sehingga dapat kelola dengan baik sesuai prosedur yang benar. Dengan demikian, pengguna pun berarti sudah berkontribusi dengan membuat bumi lebih hijau.

(Jek/Isk)