Sukses

ICJR: Pembatasan Akses Media Sosial Harus Berdasarkan Hukum

ICJR mempertanyakan inisiatif pemerintah membatasi akses dan fitur media sosial, mengingat tindakan pembatasan ini tidak diperlukan didasari dengan dua alasan.

Liputan6.com, Jakarta - Sejak 22 Mei lalu, pemerintah telah membatasi akses dan fitur media sosial (Instagram, Twitter, Facebook, WhatsApp, dan LINE) untuk sementara waktu.

Tindakan ini dilakukan terkait dengan kondisi di Jakarta, terutama Kantor Bawaslu dan KPU RI yang terus didatangi massa aksi unjuk rasa yang memprotes hasil Pemilihan Umum 2019.

Pembatasan ini, menurut klaim pemerintah yang diwakili oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara, semata-mata dilakukan untuk mencegah provokasi hingga penyebaran berita bohong kepada masyarakat. Pemerintah lebih lanjut menyatakan bahwa keputusan untuk membatasi akses ke media sosial dan aplikasi chatting ini telah sesuai dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). 

Pada kesempatan terpisah, ICJR mempertanyakan inisiatif tersebut, mengingat tindakan pembatasan ini tidak diperlukan didasari dengan dua alasan.

Pertama, pembatasan. Ini sangat bertentangan dengan hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi serta kebebasan berekspresi.

Pembatasan yang dilakukan terhadap media sosial dan aplikasi chatting yang telah menghambat komunikasi masyarakat, terutama melalui aplikasi WhatsApp dan LINE.

Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi telah dilindungi dalam Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. 

Kedua, pembatasan akses dan fitur terhadap media sosial dan aplikasi chatting tanpa pemberitahuan sebelumnya adalah tidak tepat.

Pasal 4 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui UU No 12 Tahun 2005 memberikan kewenangan kepada negara untuk melakukan pembatasan-pembatasan hak asasi manusia ketika negara dalam keadaan darurat.

Keadaan darurat dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti penyebab yang timbul dari luar (eksternal) atau dari dalam negeri (internal).

Ancamannya dapat berupa ancaman militer/bersenjata atau dapat pula tidak bersenjata seperti teror bom dan keadaan darurat lainnya.

Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa tersebut, konstitusi memberikan kekuasaan kepada kepala negara atau pemerintah untuk menilai dan menentukan negara dalam keadaan darurat.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Dua Kondisi Mendasar

Dalam Komentar Umum No. 29 terhadap Pasal 4 ICCPR mensyaratkan ada dua kondisi mendasar harus dipenuhi untuk dapat membatasi hak asasi manusia.

Pertama, situasinya harus berupa keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa. Kedua, Presiden harus penetapan secara resmi bahwa negara dalam keadaan darurat melalui Keputusan Presiden.

Penetapan ini sebelumnya pernah dilakukan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2004 silam untuk mengumumkan keadaan darurat di Aceh.

Meski begitu, tindakan-tindakan pembatasan HAM harus ditentukan batas-batasannya yang jelas beserta ukuran-ukuran yang tidak membuka peluang terjadinya penyalahgunaan dengan merugikan kepentingan yang lebih luas. Tindakan pembatasan akses serta fitur media sosial, dan aplikasi chatting secara langsung tanpa ada pengumuman sebelumnya adalah tidak tepat.

Berdasarkan atas hal ini, maka ICJR merekomendasikan tiga hal kepada pemerintah. 

Pertama, pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan pembatasan akses terhadap media sosial dan aplikasi chatting harus benar-benar mengkaji batas-batasannya yang jelas, agar tidak membuka peluang terjadinya pengurangan hak dan kepentingan yang lebih luas, seperti hak untuk berkomunikasi. 

Kedua, apabila ada suatu keadaan darurat yang menyebabkan pembatasan terhadap HAM tertentu sebagaimana diatur dalam ICCPR, maka Presiden harus membuat penetapan secara resmi bahwa negara dalam keadaan darurat melalui Keputusan Presiden.

Ketiga, apabila suatu keadaan tidak termasuk keadaan darurat tetapi pemerintah merasa perlu untuk menetapkan suatu kejadian tertentu yang menyebabkan pembatasan HAM, maka tindakan tersebut seharusnya merupakan tindakan hukum yang diumumkan oleh pejabat hukum tertinggi di Indonesia, yaitu Jaksa Agung.

Sehingga, kebijakan yang diambil pemerintah merupakan kebijakan hukum dan bukan kebijakan politis.

(Jek/Isk)