Liputan6.com, Jakarta - Saat ini, empat dari tujuh negara teratas di dunia dalam hal adopsi smartphone adalah Australia, Makau, Singapura, dan Korea Selatan. Sementara, Indonesia bersama dengan China dan India menjadi pendorong utama pertumbuhan adopsi smartphone di kawasan Asia Pasifik.
Indonesia sendiri telah mengalami peningkatan koneksi smartphone sebanyak hampir 75 juta pada tahun 2017. Total adopsi smartphone dari ketiga negara ini mencapai 348 juta atau sekitar 55 persen dari total koneksi baru global.
Namun, masih ada kesenjangan digital yang cukup besar antara warga perkotaan dan pedesaan di Indonesia. Hampir 45persen orang tinggal di daerah pedesaan, dan angka ini jauh lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia Pasifik yang lebih maju.
Advertisement
Selain itu, sebagai sebuah negara kepulauan, bentangan luas kawasan Indonesia juga membuat perluasan jangkauan koneksi jadi mahal dan sulit. Namun, di sisi lain, banyaknya jumlah orang Indonesia yang belum terhubung memberikan peluang besar bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial dalam dekade berikutnya. Mobile broadband tersedia, tetapi kebutuhan pengguna menuntut adanya pertumbuhan 4G
Indonesia saat ini berada dalam fase transisi dari pasar seluler berbasis suara dan SMS, ke arah masyarakat digital yang lebih maju. Selain itu, gabungan dari 2G dan 3G mewakili 69 persen dari total koneksi pada H1 2018.
Baca Juga
Namun, meskipun pasar 4G di Indonesia dianggap lamban, Indonesia kini mulai melihat percepatan migrasi ke broadband nirkabel super cepat (superfast wireless broadband).
Hal ini sebagian besar didorong oleh investasi jaringan dan reframing spektrum yang dilakukan operator di tengah persaingan ketat industri telekomunikasi serta kebutuhan tinggi konsumen untuk layanan mobile berkecepatan lebih tinggi.
4G belum menjadi teknologi dominan di Indonesia, sementara siklus penggunaan teknologi 3G diperkirakan masih akan bertahan hingga beberapa tahun ke depan. Namun, karena pertimbangan kebijakan spektrum dan investasi dari pemerintah, 4G diperkirakan akan terus mengalami peningkatan hingga 2025 dengan total koneksi mencapai 361 juta (atau 74persen dari total koneksi).
Ke depannya, negara-negara seperti China, Jepang dan Korea Selatan diproyeksikan akan sudah melakukan implementasi komersil dari layanan teknologi 5G sebelum akhir tahun 2020.
Sementara di Indonesia, implementasi pasar dari teknologi generasi selanjutnya ini kemungkinan baru akan sampai pada tahap awal dalam lima tahun mendatang.
Peluang dari Digitalisasi Konten Media
Meskipun DVD film dan serial televisi terbaru sering tersedia di pusat perbelanjaan dan pasar di seluruh Indonesia, dan biasanya dengan harga sangat rendah, pertumbuhan pasar over-the-top (OTT) diperkirakan bernilai $ 40 juta (IDR 576 miliar) pada tahun 2019, dengan perkiraan pelanggan (subscriber) mencapai hampir 10 juta.
Pertumbuhan ini mungkin sebagian besar didorong oleh situs seperti Netflix. Meskipun begitu, konsumen Indonesia juga memiliki preferensi yang kuat untuk konten berbahasa lokal.
Dengan demikian, pasar OTT diperkirakan akan terus mengalami pertumbuhan seiring dengan munculnya pemain domestik seperti iFlix dan Hooq - yang lebih murah daripada Netflix.
Sementara itu, konsumsi televisi free-to-air per pengguna terus menurun dalam beberapa tahun terakhir. Rata-rata penggunaan internet setiap hari melalui telepon seluler (3 jam 55 menit) dan penggunaan media sosial melalui perangkat apa pun (3 jam 16 menit) telah melampaui waktu menonton televisi harian masyarakat (2 jam 23 menit).
Kepemirsaan televisi telah menurun khususnya di kalangan demografi lebih muda yang semakin cenderung bergantung pada situs web dan platform media sosial untuk konten berita, dan untuk streaming program non-linear.
Karena konsumsi iklan dan pendapatan beralih dari siaran tradisional menjadi saluran digital (seperti jejaring sosial), maka penting bagi Indonesia untuk mempertahankan laju digitalisasi dan kebijakan spektrum guna mendukung tuntutan dan kebutuhan industri seluler. Meskipun televisi free to air secara umum telah berevolusi ke platform digital (saat ini dalam masa transisi dari teknologi analog yang sudah berusia hampir 60 tahun), TV analog belum hilang sepenuhnya di Indonesia.
Padahal, TV digital jauh lebih efisien dan kualitas videonya juga jauh lebih baik. Teknologi ini menggunakan lebih sedikit spektrum untuk menyiarkan konten, sekaligus memperbanyak puluhan kali lipat jumlah program yang tersedia untuk pemirsa.
Indonesia masih harus menyelesaikan proses TV Digital Switch-Over (DSO), dan karena itu belum mengalokasikan spektrum cadangan di dalam frekeunsi 700 MHz ("dividen digital") untuk layanan seluler 4G. 700 MHz untuk 4G Mobile
Broadband Membawa Manfaat Ekonomi
Kombinasi dari populasi muda yang besar, perluasan jangkauan 4G, dan layanan dan handset yang relatif murah menunjukkan bahwa Indonesia memiliki skala dan karakteristik pasar untuk merangsang inovasi unik, yang berpotensi untuk diekspor.
Go-Jek, misalnya, adalah start-up unicorn pertama di Indonesia dan, menurut survei terbaru, merupakan aplikasi berbagi tumpangan yang paling populer di negara ini. Diluncurkan pada tahun 2016, Go-Car dan layanan pemesanan tumpangan sepeda motor online-nya telah tersebar luas dan menjadi populer dengan cepat di negara ini.
Go-Jek pun kini bersaing ketat dengan layanan pesanan tumpangan lainnya seperti Grab dan Uber. Bahkan, Grab baru-baru ini telah mengakuisisi Uber di Asia Tenggara. Chief Marketing Officer Go-Jek juga mengklaim bahwa perusahaan ini telah membantu menurunkan tingkat pengangguran Indonesia sebesar 0,5 persen pada tahun 2016 dan berkontribusi kepada perekonomian Indonesia sekitar $ 1 miliar (Rp 14,4 triliun).
Perekonomian digital Indonesia untuk saat ini masih dalam tahap awal perkembangannya, meskipun perkiraan dampak potensial teknologi digital di negara ini diperkirakan akan meningkatkan produk domestik bruto (PDB) sebesar $ 150 miliar (IDR 2.160 triliun, atau 16persen pertumbuhan PDB saat ini) pada tahun 2025 dan menciptakan 3,7 juta lapangan pekerjaan baru.
Peningkatan Broadband 4G Akan Dorong Hasil Sosial Positif
Konektivitas nasional yang lebih baik melalui broadband nirkabel super cepat akan mendorong akselerasi ekonomi, dan operator seluler diposisikan untuk memainkan peran penting dalam proses ini melalui proyek investasi infrastruktur dan penyelenggaraan layanan digital.
Konektivitas yang baik juga penting untuk mendukung warga negara digital yang efektif dan menawarkan kemampuan untuk sepenuhnya memanfaatkan layanan pemerintah.
Di seluruh dunia, pemerintah semakin banyak menggunakan saluran digital untuk memberikan kesejahteraan sosial, memberikan layanan kesehatan, dan memperluas pendidikan online ke komunitas yang paling rentan.
Misalnya, platform digital meningkatkan akses ke pendidikan dan menjadi pilar penting dalam membangun masyarakat berbasis pengetahuan.
E-learning dapat meningkatkan peluang peningkatan keterampilan dan bertindak sebagai platform untuk mempromosikan pembangunan manusia di daerah pedesaan dan terpencil.
Ini dapat mengarah pada peningkatan kualitas hidup bagi individu dan keluarga mereka, yang dapat memicu siklus yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan dan mengurangi kemiskinan.
Solusi m-Education memungkinkan ribuan siswa di negara-negara seperti Indonesia untuk mengakses konten pelajaran melalui SMS dan audio. Pada 2015, Telkom, MCIT, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia memulai prakarsa baru, yang bertujuan untuk mengganti buku teks fisik di sekolah yang mahal dan sulit diperoleh dan didistribusikan, dengan tablet dan ebook.
Spektrum 700 MHz Paling Hemat Biaya
Frekuensi dalam spektrum rendah, seperti 700 MHz, dapat mencapai jarak yang lebih jauh - memberikan cakupan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan frekuensi yang lebih tinggi di atas 1 GHz dan dengan demikian mengurangi biaya infrastruktur.
Beberapa negara Asia Pasifik, termasuk Indonesia, telah meluncurkan jaringan 4G pada frekuensi di bawah 1 GHz, tetapi hanya sebagian kecil dari spektrum yang tersedia di kawasan Asia Pasifik berada dalam kisaran ini.
Hal ini menunjukkan bahwa ada kebutuhan untuk alokasi spektrum yang lebih besar agar bisa memperluas jangkauan adopsi layanan broadband selular. Ketika frekuensi naik maka jangkauan akan menurun dan akibatnya dibutuhkan lebih banyak tower, situs dan infrastruktur terkait untuk mereplikasi jangkauan yang diharapkan dari frekuensi sebesar 700 MHz.
Dengan mendapatkan akses ke spektrum 700 MHz, operator akan dapat mengatasi - dan mengurangi - kesenjangan cakupan, mendorong penetrasi seluler yang lebih tinggi dan peningkatan akses ke layanan di daerah pedesaan, seperti pendidikan dan kesehatan.
Operator seluler, perusahaan ekosistem lainnya, pemerintah, dan regulator, semuanya memiliki peran untuk memastikan bahwa Indonesia menuai dan memaksimalkan manfaat dari dividen digital 700 MHz sesegera mungkin.
Penulis adalah Cristian Gomez, Director Spectrum Policy and Regulatory Affairs, Asia-Pacific, GSMA