Sukses

Regulasi Validasi IMEI Diwacanakan Sejak 2010

Wakil Ketua Umum ATSI, Merza Fachys, mengungkapkan pemerintah sudah menyiapkan regulasi soal validasi International Mobile Equipment Identity (IMEI) sejak 2010.

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Umum ATSI, Merza Fachys, mengungkapkan pemerintah sudah menyiapkan regulasi soal validasi International Mobile Equipment Identity (IMEI) sejak 2010. Regulasi tersebut terus diwacanakan, hingga akhirnya benar-benar disiapkan pada tahun ini.

Regulasi itu dinilai sangat dibutuhkan setelah negara diprediksi mengalami kerugian sekitar Rp 2,8 trilun karena peredaran ponsel Black Market (BM). Ponsel tersebut masuk ke pasar Indonesia tanpa membayar pajak.

"Soal IMEI ini sudah diangkat oleh Kemenperin sejak 2010, dan ide awalnya dari pemerintah untuk mengatur gadget melalui IMEI. Tahun berikutnya diwacananakan lagi, tapi belum penting dan mendesak. Baru kemarin karena ada kerugian Rp 2,8 triliun dirasa kita harus ada regulasi tersebut," jelas Merza dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (24/9/2019).

Operator seluler, kata Merza, sebagai salah satu pelaku dalam industri smartphone sangat mendukung regulasi tersebut. Apalagi sudah sekian tahun dikaji.

Kendati demikian, ATSI ingin ada pembagian pertanggungjawaban yang jelas dalam penerapan regulasi tersebut. Hal ini termasuk investasi untuk sistem yang diperlukan dalam proses validasi IMEI.

"Jangan karena didukung, semua jadi bertanggungjawab. Jangan semuanya kami yang bertanggungjawab, karena tupoksinya ada masing-masing," tutur Merza.

2 dari 2 halaman

Poin Keberatan ATSI

ATSI pada 12 September 2019 mengirimkan surat berisi masukan soal regulasi validasi IMEI kepada Kemenkominfo. Selain Kemkominfo, Kemendag dan Kemenperin merupakan kementerian yang juga terlibat dalam pembuatan regulasi tersebut.

ATSI melalui surat tersebut menyampaikan 10 masukan, dua di antaranya berisi desakan pertanggungjawaban yang jelas dalam pelaksanaan regulasi tersebut yaitu soal investasi pengadaan sistem Equipment Identity Reguters (EIR) untuk proses validasi IMEI, tidak dibebankan kepada operator seluler.

Biaya investasi tersebut seharusnya dibebankan kepada pihak yang diuntungkan dalam penerapan regulasi tersebut, yaitu pemerintah dan vendor smartphone.

Mengutip data Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia (APSI), potensi kerugian pajak yang ditimbulkan akibat ponsel BM sekira Rp 2,8 triliun per tahun.

Kerugian yang besar tersebut dinilai akan dapat diatasi dengan penerapan regulasi soal IMEI, sehingga pemerintah dan vendor smartphone menjadi pihak yang paling diuntungkan.

"Jika solusi ini (regulasi IMEI) bisa mengatasi ponsel BM, maka pemerintah menjadi yang paling diuntungkan. Pedagang yang menjual barang legal juga akan diuntungkan," jelasnya.

Selain itu, ATSI juga meminta pemerintah menunjuk kementerian terkait untuk membangun dan menyediakan Call Centre, serta Customer Service agar melayanani pendaftaran IMEI perangkat milik pelanggan. ATSI menilai hal tersebut bukan tugas pokok dan fungsi dari operator seluler.

(Din/Ysl)