Liputan6.com, Jakarta - Pengamat media sosial sekaligus sosok di balik social media analytics Drone Emprit, Ismail Fahmi, menyoroti peran kontrol publik pada kasus Dandhy Laksono dan Ananda Badudu.
Dalam sebuah utas di akun pribadinya (@ismailfahmi), dia memaparkan data dan analisis percakapan Twitter tentang dua aktivis tersebut.
Advertisement
Baca Juga
Selama beberapa jam, tren percakapan tentang penangkapan Dandhy Laksono sempat mengalami naik turun. Puncak percakapan dengan volume 16 ribuan twit berlangsung sekitar pukul 7 pagi.
Saat itu publik mengetahui bahwa Dandhy Laksono sudah dilepas, meski pendiri rumah produksi Watchdoc itu tetap menyandang status tersangka.
Sementara itu, pada rentang waktu yang sama, volume percakapan tentang Ananda Badudu makin banyak.
"Tren di atas memperlihatkan 'response publik'. Mereka terkejut, melihat ini sebagai 'off-side', 'state terror', dll," ujar pria yang menyelesaikan program PhD di bidang Linguistik Komputasional di Belanda tersebut.
Ketika Ananda Badudu belum dilepas, menurut data Drone Emprit, tren percakapan tentang cucu bahasawan J.S. Badudu itu terus mengalami kenaikan.
"Pressure terus diberikan (oleh publik). Dan begitu ada kabar mereka dilepaskan, langsung tren turun. Dialektika ini tampak jelas," tutur Ismail.
Pelajaran Penting
Selain itu, ada temuan menarik lainnya dari peta social network analysis (SNA) tentang Dandhy Laksono dan Ananda Badudu.
"Baik mereka yang pro maupun kontra dengan Dandhy dan Ananda, (mereka) bersatu. (Mereka) sama-sama memperotes penangkapan ini," kata Ismail.
Keduanya juga mendapat banyak dukungan dari sejumlah figur publik dan organisasi nonpemerintah. Di antarannya adalah politkus PDI-Perjuangan Budiman Sudjatmiko, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Amnesty International Indonesia, jurnalis Zen RS, presiden BEM KM UGM M Atiatul Muqtadir, dan lain-lain.
Tak kalah penting, Ismail menekankan ada dua pelajaran penting yang dapat dipetik dari kasus ini.
"Jika publik bersatu, maka buzzer dan oligarki bisa dikoreksi. Yang bisa menyatukan adalah 'value' seperti keadilan, antikorupsi, dll. Bukan 'sosok'," tutur Ismail menutup utas tersebut.
(Why/Ysl)
Advertisement