Liputan6.com, Jakarta - Google merilis machine learning library TensorFlow 2.0 ke publik. TensorFlow 2.0 hadir dengan sejumlah perubahan untuk meningkatkan kemudahan penggunaan, antara lain penghapusan beberapa API yang dianggap redundan dan integrasi lebih ketat dan mengandalkan Keras sebagai API utamanya.
Integrasi TensorFlow dengan Keras dimulai ketika TensorFlow 1.0 dirilis pada Februari 2017. Adapun TensorFlow 2.0 ini menjanjikan performa pelatihan tiga kali lebih cepat ketika menggunakan presisi campuran pada Volta dan Turing GPU.
Advertisement
Baca Juga
Sejak dirilis oleh tim Google Brain pada tahun 2015, menurut Engineering Director TensorFlow, Rajat Monga, kerangka kerja machine learning library ini telah diunduh lebih dari 40 juta kali. Demikian dikutip dari Venture Beat, Selasa (1/10/2019).
Hal itu diungkapkan menjelang TensorFlow World, sebuah konferensi perdana untuk para pengembang yang akan berlangsung 28-31 Oktober di Santa Clara, California, Amerika Serikat.
Disebutkan pula bahwa peneliti Google AI telah meluncurkan serangkaian terobosan pemahaman bahasa alami, seperti model multibahasa yang dilatih untuk mengenali sembilan bahasa India.
Peneliti Gunakan Machine Learning untuk Prediksi Kebakaran Hutan
Diwartakan sebelumnya, sekelompok peneliti di University of California, menggunakan machine learning untuk memprediksi potensi kebakaran hutan. Peneliti lintas bidang tersebut membuat sebuah model pengklasifikasi keputusan yang merujuk pada sebuah dataset tunggal.
Model itu dapat memprediksi apakah api akan membesar sekitar lima puluh persen. Dengan demikian, model itu lebih unggul ketimbang model lainnya yang bergantung pada beberapa variabel cuaca.
Data kelembapan udara digunakan untuk melatih kecerdasan buatan. Data itu bersumber dari Alaska Large Fire Database yang memuat lebih dari seribu seratus peristiwa kebakaran di Alaska selama 2001-2017. Setiap kebakaran kemudian diberi label kecil, sedang, atau besar.
Model ini kemudian dapat memprediksi sekitar empat puluh persen dari titik api yang menyebabkan kebakaran hutan besar yang menyumbang tujuh puluh lima persen dari area terbakar selama periode waktu itu.
Advertisement
Klasifikasi
"Jenis sistem klasifikasi sederhana ini dapat menawarkan wawasan tentang alokasi sumber daya optimal," tulis laporan itu, seperti dikutip dari Venture Beat, Jumat (20/9/2019). "Kebakaran besar dan dampaknya dalam beberapa tahun terakhir mungkin menuntut pemikiran ulang manajemen kebakaran."
Model ini sebetulnya dilatih untuk memprediksi potensi kebakaran terutama di hutan pohon borel. Pohon jenis ini tumbuh di kawasan Alaska dan Kanada utara.
Namun, tidak tertutup kemungkinan model itu juga dapat diterapkan di kawasan lainnya, seperti bagian barat Amerika Serikat di mana kebakaran hutan terjadi yang frekuensinya diperkirakan akan meningkat karena perubahan iklim.
(Why/Isk)