Sukses

Mantan CEO Google Sarankan Regulasi Kecerdasan Buatan Tidak Berlebihan

Mantan CEO Google Eric Schmidt menyarankan supaya kecerdasan buatan tidak diatur berlebihan oleh pemerintah

Liputan6.com, Jakarta - Regulasi terkait kecerdasan buatan kembali memicu tanggapan tokoh perusahaan di bidang teknologi. Terkini, mantan CEO Google Eric Schmidt menyarankan supaya kecerdasan buatan tidak diatur berlebihan oleh pemerintah.

Hal itu dia ungkapkan ketika berpidato tentang etika kecerdasan buatan di Stanford University’s Hoover Institution. Selain itu, dia juga menyoroti ancaman misinformasi dan pencegahan konflik antara negara-bangsa di zaman kecerdasan buatan.

"Apa norma dari (kecerdasan buatan) ini? Area ini menurut saya merupakan sesuatu yang baru lahir tetapi akan menjadi sangat penting karena kecerdasan umum menjadi semakin mungkin beberapa waktu dari sekarang," kata Eric dikutip dari Venture Beat, Selasa (29/10/2019).

Saat ini, lanjut Eric, belum ada kesepakatan bersama tentang bagaimana semua itu bekerja.

Eric juga mengapresiasi penerapan kecerdasan buatan di berbagai bidang, seperti mobil otonomos, obat-obatan, kesehatan, dan lain-lain.

Hal yang tak kalah penting terkait isu ini, menurut Eric, adalah pemerintah perlu menahan diri dalam meregulasi teknologi karena industri kecerdasan buatan terus tumbuh.

"Saya akan berhati-hati dalam membangun segala bentuk struktur peraturan tambahan yang bersifat ekstralegal," ujar Eric menanggapi pernyataan yang mengusulkan pembentukan agen federal baru untuk memantau algoritma yang digunakan oleh perusahaan swasta.

2 dari 2 halaman

Tangan Robotik Berbasis Kecerdasan Buatan Ini Mampu Selesaikan Kubus Rubik

Diwartakan sebelumnya, Divisi robotik OpenAI mengatakan, tangan robotik berbasis kecerdasan buatan bernama Dactyl, telah belajar untuk menyelesaikan sebuah kubus rubik dengan satu tangan.

Menurut organisasi riset kecerdasan buatan itu, sebagaimana dikutip dari The Verge, Rabu (16/10/2019), pencapaian ini adalah lompatan ke depan yang baik untuk pengembangan perangkat kecerdasan buatannya.

Dactyl disebut mampu mempelajari tugas-tugas baru menggunakan simulasi virtual sebelum menyelesaikan tugas-tugas riil. Adapun Dactyl pertama kali dikembangkan tahun lalu.

Dalam sebuah video demonstrasi, tangan robotik itu menyelesaikan kubus rubik secara akurat dalam waktu beberapa menit. 

Bagi OpenAI, prestasi Dactyl membawanya selangkah lebih dekat menuju cita-cita industri kecerdasan buatan dan robotika dalam skala lebih umum: robot yang dapat belajar untuk melakukan berbagai tugas di dunia nyata tanpa harus berlatih selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun dan tanpa perlu diprogram secara khusus.

(Why/Isk)