Liputan6.com, Jakarta - Kehadiran teknologi yang lebih maju mengubah banyak hal, termasuk gaya hidup dan kebiasaan masyarakat berbelanja.
Misalnya saja, kini teknologi membuat orang memilih untuk memakai jasa GoFood atau Grabfood untuk memesan makanan alih-alih datang ke gerai.
Ada juga orang-orang yang memilih untuk membeli furnitur secara online, setelah memadupadankan desain ruang menggunakan aplikasi belanja furnitur, seperti di Ikea.
Advertisement
Lantas, bagaimana pelaku bisnis ritel menyikapi perubahan kebiasaan konsumen saat berbelanja?
Founder sekaligus CEO Sour Sally Donny Pramono membenarkan kebiasaan konsumen yang berubah akibat berbagai teknologi baru, seperti internet dan aplikasi-aplikasi digital. Ia pun menyebut teknologi memiliki dua fungsi dalam bisnis makanan dan minuman (food and beverages/F&B).
Baca Juga
"Teknologi itu ada dua fungsinya, yakni untuk membantu skalabilitas dan efisiensi. Kalau bicara skalabilitas, kita bisa lihat contohnya dengan adanya Grabfood atau Gofood, dulu orang mau makan harus datang ke toko dan antre. Sekarang bisa pesan lewat aplikasi dan diantar ke konsumen. Ini membuat bisnis lebih scaleable," tutur Donny saat jadi pembicara di panggung konferensi Disrupto di Jakarta, Jumat (22/11/2019).
Kemudian, bicara efisiensi, ia mencontohkan konsep cloud kitchen. Konsep cloud kitchen seperti yang dimiliki Grab dengan Grab Kitchen, yakni ada sebuah lokasi khusus untuk memasak dan menyiapkan makanan, dan makanan langsung dikirimkan ke konsumen.
Donny mengakui, hal ini membuat perusahaan F&B jadi lebih efisien karena tidak perlu menyewa tempat besar dengan biaya tinggi. "Tapi kalau cloud kitchen kan lokasinya tidak harus di mal, yang penting bisa menyiapkan makanan khusus untuk pembelian online," tuturnya.
Hal lain yang juga dilakukan Sour Sally untuk mengejar disrupsi adalah dengan menerima pembayaran dengan wallet payment seperti Gopay, OVO, Dana, dan lain-lain.
"Dulu pembayaran cash itu jadi isu di bisnis ritel, karena F&B itu biasanya memiliki banyak outlet, berisiko fraud. Terus kalau cash dibawa-bawa untuk antre bank, itu berpotensi bahaya, tapi digital wallet ini memudahkan," kata Donny.
Konsep new retail
Sementara itu, Head of Digital Marketing Kawan Lama Retail Pungkas Riandika menyebutkan, kini Kawan Lama menganut konsep new retail.
"Kami sudah lama melepas stigma bahwa branding adalah sesuatu yang sifatnya physical. Kami ubah toko-toko kami (Ace Hardware, Informa, dll) dari yang sifatnya showcase menjadi experimental. Artinya pengguna bisa memegang dan mencoba produk," kata Pungkas dalam kesempatan yang sama.
Tidak hanya itu, menurut Pungkas, Kawan Lama juga menerapkan konsep pemasaran digital dengan e-magz sebagai bentuk edukasi ke pengguna atas produk-produk yang mereka lihat di toko.
"Saat orang datang ke toko, mereka melihat-lihat dan sepulangnya mereka perlu untuk tahu produk-produk yang ada. Mungkin di Ace Hardware menjual berbagai merek dan jenis mesin pembuat kopi misalnya, kan orang bingung pilih yang mana. Makanya kami harus memberi pengetahuan, dengan e-magz yang isinya promo barang, tips dan trik, bahkan ke DIY-nya. Jadi saat pulang, mereka mendapatkan pengetahuan produk," katanya.
Untuk bersaing dengan toko produk rumah tangga asing seperti Ikea, Kawan Lama pun menghadirkan konsep yang memang cocok untuk konsumen di Indonesia.
"Kami melihat experience itu tidak hanya muter-muter toko, tetapi di Informa misalnya, konsumen disapa, diajak berkomunikasi mengenai apa kebutuhan mereka, kalau misalnya barang diinginkan tidak ada, nanti dikabari ketersediaannya, kemudian diantarkan dan dirakit gratis," tutur dia.
Advertisement
Mengikuti perilaku konsumen
Sementara Yongky Surya Susilo dari Nielsen Research memandang bisnis ritel bukan tentang teknologi, melainkan bagaimana perusahaan ritel harus bisa mengikuti perilaku konsumen.
Ia juga tidak melihat bahwa bisnis online bakal jadi dominan.
"Bisa iya, bisa tidak. Kita di bisnis offline melihat, toko tradisional itu ada up and down, tetapi bisa survive. Sementara, (bisnis) online masih baru, jadi tidak bisa menjamin akan dominan," tutur Yongky.
Ritel, kata Yongky, dapat bertahan karena mengumpullkan profit dari keuntungan-keuntungan kecil. Sementara model bisnis online sekarang adalah terus menyuntikkan modal untuk memberikan promosi diskon.
"Ritel itu simpel, jual barang di atas harga beli. Kalau konsep yang dipakai terbalik, tidak akan hidup," tutur dia.
Cara kedua yang harusnya dilakukan pebisnis ritel adalah mengikuti kenyamanan konsumen.
"Jangan dikira bahwa pindah ke e-commerce akan jadi solusi keberhasilan sebab penurunan ritel itu karena daya belinya rendah. Kelas menengah tidak mau membeli karena ketidakinginan untuk membeli, jadi bukan karena banyaknya e-commerce," ujar dia.
Meski begitu, Yongky menyebut pelaku bisnis ritel harus berevolusi karena sasaran konsumennya adalah anak-anak muda. "Yang harus diubah adalah bisnis model, bukan semata-mata ikut beralih ke e-commerce atau milenial. Potensi bisnis di Indonesia itu luar biasa, jadi pebisnis retail jangan hanya garap online tapi juga offline," ujar dia memberi pesan.
(Tin/Why)