Liputan6.com, Jakarta - Persoalan privasi kembali menjadi persoal Facebook. Alasannya, perusahaan itu dilaporkan membuat aplikasi internal yang memungkinkan karyawannya mengidentifikasi orang lain, baik kerabat atau temannya.
Laporan Business Insider menyebut lewat aplikasi ini karyawan Facebook dapat memanfaatkan ponselnya untuk mengenali orang lain, meskipun minim informasi mengenai orang tersebut.Â
Jadi, aplikasi ini memungkinkan karyawan Facebook mengarahkan kamera di smartphone-nya ke orang lain. Setelah itu, aplikasi tersebut akan menampilkan nama dan gambar profil tersebut di Facebook.
Advertisement
Baca Juga
Menurut sumber anonim, aplikasi ini dikembangkan antara 2015 dan 2016. Namun aplikasi tapi tidak pernah dilanjutkan, dan tidak dirilis ke publik hingga sekarang.Â
Dikutip dari Cnet, Selasa (26/11/2019), Facebook mengakui pernah mengembangkan aplikasi ini untuk pengenalan wajah, tapi membantahnya dapat digunakan untuk mengenali orang yang ada di media sosial.
"Sebagai cara untuk mempelajari teknologi baru, tim kami membangun aplikasi secara reguler untuk digunakan secara internal," tutur juru bicara Facebook menjelaskan soal keberadaan aplikasi ini.
Facebook mengatakan aplikasi ini hanya ditujukan untuk karyawan Facebook. Jadi, aplikasi tersebut hanya dipakai untuk mengenali karyawan dan temannya yang memang sudah mengaktifkan fitur pengenalan wajah.
Perlu diketahui, Facebook sebenarnya sempat bermasalah dengan penggunaan teknologi pengenalan wajah. Pada 2015, fitur tag foto yang ada di media sosial itu digugat karena dianggap melanggar hukum privasi Illinois, Amerika Serikat.
Jadi, fitur tag foto di Facebook biasanya akan langsung menyertakan tautan ke profil akun yang ditandai tersebut. Namun sejak tahun ini, fitur tersebut dapat dimatikan oleh pengguna.
Satu Miliar Lebih Data Facebook dan Medsos Lain Terekspos
Sebelumnya, peneliti dark web Vinny Troia benemukan sebuah database yang mudah diakses di server yang tidak aman. Database berukuran 4 terrabyte (TB) ini memuat sekitar 1,2 miliar data pribadi milik pengguna.
Data ini memang tidak berisi informasi sensitif seperti password, nomor kartu kredit, atau nomor jaminan sosial pemiliknya.
Namun, mengutip laman Wired, Minggu (24/11/2019), data ini berisi ratusan juta profil dan nomor telepon yang terhubung dengan media sosial seperti Facebook, Twitter, LinkedIn, dan GitHub.
Tidak hanya itu, riwayat kerja para pengguna juga didapatkan dari LinkedIn yang berisi 50 juta nomor telepon dan 622 juta alamat email.
"Ini sangat buruk, seseorang membuatnya terbuka luas. Ini pertama kalinya saya lihat ada profil media sosial dikumpulkan, digabungkan dengan milik pengguna lain ke dalam satu database dengan skala besar," kata Troia.
Advertisement
Tak Tahu Siapa yang Kumpulkan Data
Sekadar informasi, Troia menemukan server tersebut bersama peneliti keamanan Bob Diachenko melalui layanan pemindaian web BinaryEdge dan Shodan.
Alamat IP untuk server hanya ditelusuri ke Google Cloud Service, sehingga tidak tahu siapa yang mengumpulkan data di sana.
Ia juga tidak memiliki cara untuk mengetahui apakah ada orang lain yang telah menemukan data dan mengunduhnya sebelumnya. Namun dia menyebut, server ini mudah ditemukan.
Menurut tes yang dilakukan Wired, alamat email orang-orang yang ada di database tersebut cukup akurat.
Troia mengaku telah melaporkan temuannya ke FBI dan dalam beberapa jam, sudah ada pihak yang mematikan server itu.
Dia mengatakan, database itu memiliki sebuah label, diduga milik si pemilik label yakni People Data Labs (PDL), sebuah data broker berbasis di San Francisco.Â
(Dam/Isk)