Sukses

Soal Pajak Netflix, Menkominfo Tunggu Omnibus Law

Terkait Netflix yang belakangan ini ramai dibicarakan, pungutan pajaknya akan menunggu omnibus law perpajakan terlebih dahulu.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Johnny G. Plate, menegaskan komitmen pemerintah mendesak perusahaan digital asing yang layanannya tersedia di Indonesia untuk membayar pajak, termasuk Netflix.

Terkait Netflix yang belakangan ini kembali ramai dibicarakan, pungutan pajaknya akan menunggu omnibus law perpajakan terlebih dahulu.

"Itu tugas Menkeu, tapi terkait dengan (sektor) digital, yang bisa saya sampaikan kami sedang menyusun omnibus law perpajakan, termasuk perekonomian digital, termasuk di situ Netflix juga sedang diatur," tutur Johnny di Istana Negara, Kamis (5/12/2019).

Ia mengungkapkan, Netflix sejauh ini terbuka dan bersedia mengikuti aturan yang ada di Indonesia. Hal ini karena perusahaan asal Negeri Paman Sam tersebut sadar membangun bisnis di Indonesia.

"Tidak hanya siap pajak, mereka juga terbuka membantu literasi kebangsaan kita," tambahnya.

Netflix merupakan layanan video on-demand yang berbasis di Los Gatos, California, Amerika Serikat.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly beberapa waktu lalu, mengatakan pihaknya dan badan legislatif sudah menyepakati omnibus law masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2020. Ia menargetkan rancangan undang-undang itu sudah dapat diajukan ke DPR pada akhir Desember 2019 atau awal Januari 2020.

2 dari 2 halaman

Pajak Perusahaan Layanan OTT

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan, pemungutan pajak badan perusahaan asing di Indonesia seperti layanan over-the-top (OTT) Netflix dan Google, akan menunggu omnibus law perpajakan.

Dalam omnibus law itu, nantinya akan diatur mengenai Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk perusahaan luar negeri.

Suryo melanjutkan, aturan yang ada saat ini tidak memungkinkan pemerintah menarik pajak dari subjek di luar negeri. Padahal banyak perusahaan internasional yang mendapatkan penghasilan dan penjualan dari masyarakat Indonesia.

"Nah, lewat omnibus nanti, kita lihat diskusinya seperti apa. Tapi secara prinsip kita ingin fair play. Siapa yang membeli, harus membayar. Siapapun yang menghasilkan di Indonesia, harus bayar. Itu saja intinya," jelasnya.

Ia menegaskan, siapa pun yang menjual barang di Indonesia, diwajibkan untuk membayar PPN. Apalagi barang atau jasa yang dijual secara digital tidak bisa dipantau, seperti halnya barang fisik yang diimpor melalui pelabuhan atau bandara.

"Jadi, kenapa kita membuat pilar di omnibus mengenai pemungutan PPN oleh yang ada di luar negeri, karena luar negeri by UU bukan subjek pajak kita. Kalau barang (fisik), jelas lewat (Tanjung) Priok dan (bandara) Soekarno-Hatta. Kalau beli jasa, beli film, kan langsung (secara digital)," ungkapnya.

(Din/Why)