Liputan6.com, Jakarta - Wacana Badan Regulasi dan Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mewajibkan face recognition (pengenalan wajah) untuk proses registrasi kartu SIM prabayar menyedot perhatian banyak orang. Kendati ada yang menilai hal tersebut berlebihan, tapi juga ada yang menganggapnya bisa diterapkan.
Pengamat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), Heru Sutadi, mengatakan wacana penerapan pengenalan wajah tersebut tidak bisa benar-benar dikatakan berlebihan.
Advertisement
Baca Juga
Hal ini terutama karena Indonesia bukan negara pertama yang mengeluarkan wacana, atau jika nanti diterapkan. Tiongkok menerapkan kebijakan tersebut pada awal bulan ini.
"Untuk Indonesia, kita bisa anggap berlebihan dan tidak. Kita tidak dalam posisi pertama karena ini dimulai di Tiongkok sudah dipakai, kita mengekor ke sana," ungkap Heru di dalam acara Huawei Media Camp 2019 di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Jumat (13/12/2019).
Selama sistem pengenalan wajah itu dapat memudahkan masyarakat untuk melakukan registrasi, maka ia melihat itu sebagai hal yang baik.
Namun, ia mempertanyakan bagaimana komitmen atau cara operator seluler dan pemerintah menjamin data masyarakat tersebut.
Â
Registrasi Pakai NIK dan KK Belum Optimal
Terlebih lagi, registrasi menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Kartu Keluarga (KK) sejauh ini dinilai belum optimal dengan masih banyaknya SMS spam.
"Kalau sepanjang itu untuk memudahkan pengguna mendaftar dengan aplikasi yang memang modern sekarang ini, ya kenapa tidak. Namun datanya harus dijamin tidak disalahgunakan. Jaminan ini yang kadang suka diabaikan," jelas Direktur Indonesia ICT Institute tersebut.
Jaminan keamanan data ini sangat penting, mengingat banyaknya identitas masyarakat yang disimpan.
"Jangan karena semua sudah face recognition, kemudian dipublikasikan seenaknya, tidak boleh. Hal ini karena KTP, wajah kita, nomor semuanya jadi satu, orang akan menjadi lebih mudah lagi mengenali kita," jelasnya.
(Din/Isk)
Advertisement