Sukses

UN Dihapus, Bagaimana Nasib Bimbel Online?

Tahun 2020 akan menjadi tahun terakhir pelaksanaan UN sebelum digantikan dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter pada 2021 mendatang. Bagaimana nasib bimbel online?

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim, menetapkan empat program pokok kebijakan pendidikan 'Merdeka Belajar'.

Program tersebut meliputi Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi.

Dari keempat program pokok tersebut, satu yang paling mengundang perhatian adalah kebijakan penghapusan ujian nasional.

Menurut Nadiem, tahun 2020 akan menjadi tahun terakhir pelaksanaan ujian nasional sebelum digantikan dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter pada tahun 2021 mendatang.

Seperti diketahui, UN tak hanya menjadi momok bagi siswa, tapi juga orangtua. Inilah mengapa mereka rela berinvestasi lebih untuk memasukkan anaknya ke lembaga bimbingan belajar. Tujuannya untuk mendapatkan angka terbaik di UN.

Tak heran kalau kebijakan penghapusan UN ini lantas dikaitkan dengan keberlangsungan lembaga bimbingan belajar (bimbel), tak terkecuali bimbel online. Sebab, selama ini mereka menjadikan ujian nasional sebagai peluang untuk menggaet peserta bimbel.

Pun demikian, sejumlah lembaga bimbel mengaku siap beradaptasi dengan sistem baru, termasuk jika ujian nasional benar-benar dihapus pada 2021 mendatang.

Fernando Uffie, Founder Kelas Pintar, yang merupakan penyedia bimbel online mengatakan penghapusan UN bukanlah ancaman.

"Bagi kami, penghapusan UN bukan ancaman, tapi justru sebaliknya. Karena sejak awal, yang kami 'sentuh' adalah pemahaman siswa terhadap konsep, melalui pemanfaatan teknologi untuk men-deliver kurikulum secara lebih personal dan terintegrasi. Jadi apapun metode pengukurannya, tidak jadi masalah," ujar Uffie melalui keterangannya,

2 dari 2 halaman

Teknologi dalam Dunia Pendidikan

Lebih lanjut, Uffie menjelaskan bahwa peran teknologi dalam dunia pendidikan sejatinya memang tidak hanya berfokus pada nilai akhir, tapi prosesnya. Teknologi harus bisa mencegah siswa dari kegagalan, baik secara akademis maupun non akademis.

"Dua atau tiga tahun ke depan, orang tua tidak akan bertanya kenapa anak saya mendapat nilai 5. Tapi mereka akan bertanya kenapa pihak sekolah tidak memprediksi sebelumnya dan memberi tahu usaha pencegahannya. Ya, saat itu kita bicaranya sudah analisa data," jelas Uffie.

Untuk itu, penghapusan UN dan penerapan kebijakan Merdeka Belajar secara umum, menurut Uffie mestinya bukan sebuah ancaman bagi lembaga bimbingan belajar, paling tidak untuk solusi pendidikan berbasis teknologi seperti Kelas Pintar. Karena pada dasarnya kebijakan Merdeka Belajar sejalan dengan arah pengembangan pendidikan berbasis teknologi.

Uffie mengklaim Kelas Pintar menggunakan teknologi dan metode pembelajaran yang disesuaikan dengan baragam karakter siswa, baik itu Visual, Audio maupun Kinesthetic (V.A.K).

Tujuannya adalah untuk meningkatkan minat belajar dan menguatkan pemahaman siswa terhadap konsep dari materi yang dipelajarinya.

"Ini sejalan dengan kebijakan Merdeka Belajar yang berfokus pada penguatan literasi dan numerasi," pungkasnya.

(Isk/Why)