Liputan6.com, Jakarta - Jangkauan hoaks selama Pilpres AS 2016 dan dampaknya selama masa kampenye telah menjadi perdebatan.
Hal ini mendorong para peneliti di Dartmouth University, Princeton University, dan University of Exeter untuk mengukur audiens dari hoak-hoaks yang telah beredar. Mereka mengukur kunjungan ke situs web dengan kredibilitas meragukan selama periode sebelum dan setelah Pilpres AS 2016.
Advertisement
Baca Juga
Penelitian ini melibatkan survei online terhadap 2.525 orang Amerika dan menggunakan data lalu lintas web yang dikumpulkan YouGov Pulse (7 Oktober-16 November 2016) dari laptop atau komputer desktop responden. Metode ini tidak meminta orang-orang mengingat situs web yang mereka kunjungi, yang berpotensi mengganggu kesalahan pengukuran.
Ternyata, kurang dari separuh orang Amerika mengunjungi situs web tidak kredibel. Selain itu, rata-rata situs web kredibel hanya menyumbang enam persen dari semua berita yang orang Amerika baca.
Secara ideologis, konten situs konservatif tidak kredibel menyumbang hampir 5 persen dari berita. Sebaliknya, situs liberal tidak kredibel hanya menyumbang kurang dari 1 persen.
Responden yang mengidentifikasi diri mereka sebagai pendukung Donald Trump juga lebih cenderung mengunjungi situs kredibel (57 persen) ketimbang mereka yang mendukung Hillary Clinton (28 persen).
Situs cek fakta
Lebih lanjut disebutkan bahwa Facebook menjadi pintu utama bagi mereka yang mengakses situs web tidak kredibel.
Temuan lain penelitian ini menunjukkan situs-situs pengecekan fakta relatif belum efektif dalam menjangkau audiens situs tidak kredibel. Hanya 44 persen responden pengunjung situs tidak kredibel yang juga mengunjungi situs pengecekan fakta selama penelitian.
Selain itu, hampir tidak satu pun dari mereka pernah membaca cek fakta yang menyanggah klaim spesifik dalam artikel yang berpotensi diragukan.
"Temuan ini menunjukkan mengapa kita perlu mengukur paparan hoaks daripada hanya menganggapnya ada di mana-mana di internet," kata Brendan Nyhan, profesor di bidang pemerintahan di Dartmouth University dikutip dari rilis resmi penelitian.
Misinformasi di internet, menurut Brendan, memang masalah serius. Namun dia menekankan bahwa masalah ini dapat diatasi dengan tepat, jika kita mengetahui besaran masalah itu.
(Why/Ysl)
Advertisement