Liputan6.com, Jakarta - Menurut survei F5 Networks, 82 persen perusahaan di Asia Pasifik (global 80 persen) melakukan transformasi digital yang menekankan kecepatan penyedia layanan pasar.
Transformasi bisnis pun kini telah menjadi concern Tokopedia, dan kini tak mau lagi dikenal sebagai platform e-commerce namun sebagai perusahaan teknologi.
Perusahaan yang dibentuk William Tanuwijaya dan Leontinus Alpha Edison ini mengklaim sebagai e-commerce pertama yang mengimplementasikan costumer service digital berbasis asisten virtual.
Advertisement
"Kami sudah bertransformasi jadi perusahaan teknologi dan super ecosystem. Ada empat bisnis, dari fintech sampai logistik. Filosofi kami adalah 'building bridges, not walls’, kata External Communications Senior Lead Tokopedia, Ekhel Chandra Wijaya dalam diskusi 'Tren IoT dan AI di Indonesia' yang diinisiasi Forum Wartawan Teknologi Indonesia (Forwat) di Jakarta, Selasa (10/3/2020).
Baca Juga
Ia menuturkan, benang merahnya ada di visi misi perusahaan, mendorong pemerataan ekonomi digital, dan memanfaatkan teknologi untuk menutup kesenjangan.
Selain marketplace sebagai bisnis terbesar, Tokopedia juga punya fintech, payment, logistik, dan fullfilment.
"Tokopedia ingin menjadi AI first company karena di Tokopedia ada tiga DNA, salah satunya focus on consumer dan inilah dasar perusahaan untuk menjadi AI first company," ucap Ekhel menambahkan.
Tokopedia sendiri sudah bisa menganalisis kebiasaan konsumen sehingga dapat memberikan saran/rekomendasi barang. Ada juga smart warehouse atau toko cabang pertama menerapkan digital base costumer service.
"Awalnya kami menggunakan chatbot, sekarang AI dan kami juga punya media intelligence untuk monitoring media,” tutup Ekhel.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini
Industri Telah Berubah
Sementara itu, General Manager Fleet Management Telkomsel, Arief Teguh Hermawan, menuturkan bahwa industri telah berubah.
Kalau dulu revenue Telkomsel berasal dari voice dan SMS paling banyak, kini tidak lagi. Justru data yang kini banyak digunakan pengguna Telkomsel.
"Di sini ada aplikasi digital yang menggantikan. Itu buat kami mau tidak mau harus diversifikasi usaha, bertransformasi ke arah yang sedang tren, salah satunya IoT,” katanya.
Dia juga mengatakan kalau potensi bisnis IoT sangat besar. Saat ini, revenue-nya sudah mencapai US$ 30 juta. Memang masih kecil dibanding revenue dari legacy business, namun potensinya luas.
"Saat ini saja sudah ada satu juta perangkat berbasis IoT Telkomsel. Tahun 2020 akan ada puluhan juta perangkat, dan pada 2025 akan ada ratusan juta perangkat. Makanya dibutuhkan dorongan dari pemerintah untuk mewajibkan penggunaan IoT, misalnya smart meter (meteran listrik PLN). Jika itu terjadi, mungkin dalam waktu satu atau dua tahun sudah ada puluhan juta perangkat IoT Telkomsel,” ujar Arief memungkaskan.
(Isk/Ysl)
Advertisement