Liputan6.com, Jakarta - Pakar keamanan siber, Pratama Persadha, mengungkapkan bahaya penyebaran data kependudukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal ini terutama karena ada data nomor Kartu Tanda Kependudukan (KTP) dan Kartu Keluarga (KK).
"Data yang disebar tanpa enkripsi sama sekali. Nomor KTP dan KK bersamaan misalnya bisa digunakan untuk mendaftarkan nomor seluler dan juga melakukan pinjaman online bila pelaku mahir melengkapi data," jelas chairman lembaga riset siber Indonesia CISSReC (Communication & Informatian System Security Research Center) tersebut kepada Liputan6.com, Jumat (22/5/2020).
Advertisement
Baca Juga
Pratama juga melihat kemungkinan data yang disebar memang sebelumnya sudah ada di publik, karena data pemilu 2014 sudah lama tersebar di forum internet. Namun, jika melihat isi folder DPT DIY yang ikut dipublikasikan, ada kemungkinan peretas bisa masuk ke sistem IT KPU.
Data yang diduga bocor tersebut ada di Raid Froum, yang disajikan secara jelas dan bisa diunduh. Data yang disebar di forum internet mencakup nama, jenis kelamin, alamat, nomor KTP dan KK, tempat tanggal lahir, usia, status lajang atau menikah.
Data yang disebar pelaku adalah data 2013, setahun sebelum pemilu 2014, sebagian besar data pemilih DIY. Akun yang menyebarkan di Raid Forums adalah Arlinst.
"Saat dicek kembali, halaman yang dibuka oleh akun Arlinst ini sudah hilang. Bahkan saat dicek di twitter banyak akun yang melacak akun Arlinst, dan mencurigai akun tersebut sedang mencari sensasi, terlihat dari beberapa akun medsos dan marketplace-nya," jelas Pratama.
Adapun di Raid Forums, data-data itu terpantau sudah diunduh oleh sekira 100 akun. Untuk mengunduhnya harus memiliki minimal 8 kredit, yang setiap 30 kredit harus dibeli seharga 8 euro via Paypal.
KPU Harus Bertindak
Meski KPU menjelaskan bahwa itu adalah data terbuka, kata Pratama, bukan berarti tidak perlu dilindungi. Bukan informasi rahasia, tapi informasi yang perlu dilindungi minimal dienkripsi agar tidak sembarangan orang bisa memanfaatkan.
"Apalagi verifikasi data DPT hanya perlu data NIK, bukan semua data dijadikan satu apalagi tanpa pengamanan," jelasnya.
Ia menambahkan, jika data ini dikombinasikan dengan data Tokopedia dan Bukalapak yang lebih dahulu terekspos, maka akan dihasilkan data yang cukup berbahaya dan bisa dimanfaatkan untuk kejahatan.
"Misalnya mengkombinasikan data telepon dari marketplace dengan data KTP dan KK, jelas ini sangat berbahaya," katanya.
Advertisement
Peringatan untuk Dukcapil
Pratama menilai peristiwa ini juga harus menjadi peringatan bagi Dukcapil agar bisa mengamankan data kependudukan. Perlu dipikirkan lebih jauh terkait pengamanan enkripsi pada data penduduk.
Peristiwa ini juga membuat pengamanan sistem IT KPU dipertanyakan. Apalagi 2020 terdapat agenda Pilkada, sehingga diharapkan masalah ini menjadi isu tersendiri bagi KPU. Selama ini sistem IT KPU selalu dijadikan rujukan saat hitung cepat hasil Pemilu maupun Pilkada.
"Kita tentu khawatir, setiap gelaran Pemilu dan Pilkada KPU selalu mendapat ancaman untuk diretas. Bagi Dukcapil ini harus menjadi catatan penting untuk waspada, jangan sampai sistem ditembus dan peretas bisa memodifikasi sesuka mereka," tegas Pratama.
Ia pun mengimbau harus segera dilakukan audit keamanan informasi dan forensik digital ke sistem IT KPU untuk menemukan sebab dan celah kebocoran sistem. Jika pelaku bisa masuk ke server KPU, ada kemungkinan tidak hanya DPT yang diambil, tapi juga bisa mengakses hasil perhitungan cepat.
"Secara teknis kalau peretas bisa mencuri data, ada kemungkinan juga bisa mengubahnya. Sangat berbahaya sekali apabila hasil pemungutan suara Pemilu diubah angkanya," ungkap Pratama.
(Din/Isk)