Liputan6.com, Jakarta - Telkom Group memutuskan untuk menutup layanan Blanja.com per 1 September 2020, dan beralih strategi ke bisnis ecommerce dengan fokus pada segmen korporasi dan UMKM.
Apakah langkah yang dilakukan Telkom sudah tepat? Menurut pendiri aplikasi trading saham Teman Trader, Luke Syamlan, hal itu wajar dilakukan Telkom karena ada pertanggungjawaban ke investor dari setiap aksi korporasinya.
"Saya melihat investor cukup senang dengan aksi korporasi itu karena sehari setelah diumumkan, saham Telkom sempat naik," kata Luke melalui keterangannya, Senin (7/9/2020).
Advertisement
Sementara menurut Pengamat Ekonomi Digital, Ignatius Untung, jika dilihat kategori di mana Blanja.com bermain, persaingannya sangat ramai dan ketat.
Baca Juga
"Totalnya ada lebih dari 10 pemain, yang mana 5 di antaranya sudah cukup dominan dan butuh investasi besar untuk mengejarnya. Jadi dugaan saya, Telkom berhitung dan menilai kalau investasi di bidang itu return on investment (ROI) tidak sebaik ketika mereka masuk ke segmen Business to Business (B2B) yang lebih sedikit pemainnya," ulas Ignatius.
Ia memprediksi, dengan kekuatan Telkom bersama anak perusahaan, hubungan baik sesama BUMN dan akses ke pemerintah membuat bisnis B2B dan Business to Government (B2G) menjadi hitungan yang lebih masuk akal.
"Saya melihat langkah keluar dari pasar Customer to Customer (C2C) marketplace ini bukan masalah mampu atau tidak mampu. Telkom dan eBay sebagai induknya Blanja.com punya uang untuk bisa bersaing. Hanya saja bisnis pada akhirnya akan melihat aspek hitungan mana yang lebih baik," katanya.
Daya Tarik Belanja Konsumen
Sedangkan Pengamat Ekonomi Digital lainnya, Daniel Tumiwa, mengakui langkah Telkom sudah tepat menutup Blanja.com.
"Bagus, karena late comer yang tidak berhasil atau gagal cari pendanaan pasti akan tutup. Layanan ecommerce sudah tutup untuk pemain baru, karena terlalu mahal untuk masuk. Nanti akan ada koreksi lagi di pasar," prediksinya.
Kemudian Pengamat Telekomunikasi, Doni Ismanto Darwin, menuturkan bisnis ecommerce terutama di sektor C2C 'lumayan keras' karena masyarakat masih menjadikan promosi berupa cashback, diskon, hingga subsidi ongkos pengiriman sebagai daya tarik berbelanja.
"Harus dipahami sebagai listed company dan BUMN, Telkom itu tetap orientasinya EBITDA dan net income positif dalam mengoperasikan bisnis. Sementara bisnis ecommerce yang diincar gross market value (GMV) yang butuh dana besar sebagai bensinnya, tetapi EBITDA dan net income belum tentu positif," Doni memaparkan.
Â
Advertisement
Pemerintah Diimbau Lebih Jeli
Melirik lucrative market seperti B2B yang lebih bisa dikelola supply chain, ia menambahkan, tentu ini adalah langkah rasional bila Telkom masih mau bermain di ecommerce," katanya.
Lebih lanjut, Doni menyarankan pemerintah untuk lebih jeli melihat kompetisi di industri ecommerce karena ekosistemnya makin dikuasai asing.
"Platform, payment, hingga logistik sekarang mulai dikuasai asing. Saya rasa pemain lokal ada peluang di payment dan logistik jika regulasi dijalankan dengan benar. Kalau payment dan logistik lepas juga semua ke asing, artinya Indonesia ini hanya akan menjadi pasar," ia memungkaskan.
(Isk/Ysl)