Liputan6.com, Jakarta - Airbnb mengajukan initial public offering (IPO) atau penawaran saham perdana pada Senin, 16 November 2020. Perusahaan merilis prospektusnya dan mengindikasikan bahwa sahamnya akan diperdagangkan di bursa Nasdaq menggunakan kode ABNB.
Prospektus tersebut memberikan gambaran mendalam mengenai bisnis Airbnb, terutama terkait dengan betapa kerasnya pandemi menghantam bisnis Airbnb.
Advertisement
Baca Juga
Mengutip The Verge, Selasa (17/11/2020), sebagai bagian dari pengajuan IPO, Airbnb mengatakan, bisnisnya akan terus terpengaruh oleh orang-orang yang mengurangi perjalanan mereka karena Covid-19 masih menyebar.
"Pandemi dan dampak dari tindakan untuk mitigasi Covid-19 telah berdampak negatif secara material dan akan terus berdampak negatif terhadap bisnis, hasil operasi, dan kondisi keuangan kami," kata pihak Airbnb.
Perusahaan mengalami kerugian bersih setiap tahunnya sejak pertama diluncurkan. Airbnb juga menyebut, mungkin tidak akan mencapai profitabilitas.
Selama sembilan bulan terakhir, hingga 30 September 2020, perusahaan mengalami kerugian bersih USD 696,9 juta dari pendapatan USD 2,52 miliar.
Meskipun pandemi begitu memukul bisnis Airbnb, model bisnis mereka dianggap masih cukup resilien.
Berharap dapat USD 3 Miliar dari IPO
Perusahaan berharap bisa mengumpulkan sekitar USD 3 miliar dengan menjual sahamnya saat IPO. Jika angka tersebut tercapai, nilai perusahaan akan lebih dari USD 30 miliar.
"Kami percaya bahwa garis antara perjalanan dan kehidupan makin kabur. Pasalnya pandemi global mempercepat kemampuan untuk tinggal di mana saja. Platform kami terbukti dapat beradaptasi untuk melayani cara bepergian seperti ini," kata Airbnb dalam pengajuan IPO, seperti dikutip dari BBC.
Menurut Airbnb, platformnya cukup tahan dan adaptif menghadapi cara baru traveling yang dilakukan orang ketika pandemi.
Sekadar informasi, Airbnb memiliki lebih dari 4 juta pemilik properti yang bergabung di platform dan 86 persennya berlokasi di luar Amerika.
Advertisement
Sempat Pangkas 25 Persen Karyawan
Tahun lalu, setidaknya 54 juta orang melakukan reservasi melalui perusahaan.
Namun karena kegiatan traveling paling terdampak pandemi, perusahaan harus memangkas jumlah karyawan hingga 25 persen serta meningkatkan dana darurat yang berasal dari pinjaman hingga angka USD 2 miliar.
Perusahaan menyebut, bisnis mulai membaik seiring dengan banyaknya orang mencari tempat tinggal sementara ketika pandemi.
Meski begitu, pendapatan mereka masih turun sekitar 20 persen pada bulan-bulan terakhir ini, dibandingkan dengan tahun lalu.
(Tin/Why)