Liputan6.com, Jakarta - Vaksin Covid-19Â digadang-gadang jadi jalan keluar dari pandemi global. Jurus herd immunity ala Swedia ternyata tak mempan. Mengharapkan Corona menghilang tiba-tiba dalam waktu dekat, itu mustahil.Â
Pemerintah Indonesia berharap, vaksinasi massal Covid-19 bisa dimulai pada Desember 2020 atau Januari 2021. Lima negara lain juga berpikiran sama. Amerika Serikat, Jerman, Rusia dan Inggris berencana melakukannya bulan depan, sementara Spanyol di awal pergantian tahun.Â
Baca Juga
Para pejabat boleh saja membuat kebijakan, masalahnya, apakah rakyat mau disuntik?Â
Advertisement
Berdasarkan survei Persepsi Masyarakat terkait Vaksinasi Covid-19 yang dilakukan Kementerian Kesehatan dan Indonesian Technical Advisory Group Group on Imunization (ITAGI) pada September 2020, mayoritas responden mengetahui rencana vaksinasi.
Sebanyak 64,8 persen mau mendapatkan vaksin, 7,6 persen menolak, dan 26,6 ragu. Masyarakat yang pro melampaui yang kontra dan ragu. Sementara, 1 persen dari responden tidak mengembalikan jawaban.
Â
Survei melibatkan 115.921 responden dari 34 provinsi yang mencakup 508 kabupaten/kota atau 99 persen dari seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Ketua ITAGI Prof Dr dr Sri Redjeki Hadinegoro, Sp.A(K) mengatakan, berdasarkan form survei yang masuk dari 34 provinsi, hanya enam kabupaten asal Papua yang tidak ada respondennya.Â
"Kita lihat dan ternyata hampir semua ada. Cuma enam kabupaten (yang tidak ada), dan enam kabupaten itu dari Papua semua." jelas Sri ketika dihubungi Liputan6.com. Â "Yang lainnya semua ada, walaupun kecil-kecil, tapi ada semua perwakilannya."
Meski demikian, hasil survei tersebut menurut Sri telah mewakili pendapat secara umum. Â
Namun, persepsi bukanlah hal yang ajek. Seperti yang diungkap dalam survei Ipsos dan World Economic Forum terhadap lebih dari 18.000 orang dewasa di 15 negara, yang sayangnya tidak menyertakan Indonesia di dalamnya.
Sebanyak 73 persen responden menjawab, jika memungkinkan, mereka mau menerima vaksin Covid-19. Angka tersebut 4 persen lebih rendah dari survei serupa yang dilakukan kurang dari tiga bulan sebelumnya.
Â
Survei memang bisa jadi indikator, tetapi pantauan dari media sosial juga bisa menyajikan wawasan pembanding. Liputan6.com mengambil data dari Facebook dan Twitter untuk mencari tahu sentimen dan persepsi warganet terhadap isu vaksin Covid-19.Â
Â
Sentimen Negatif Vaksin China di Twitter
Untuk memantau percakapan tentang vaksin Covid-19 di Twitter, kami menggunakan social media monitoring tool Drone Emprit Academic, yang didukung oleh UII Yogyakarta. Periode pengumpulan data mulai 25 Agustus hingga 25 November 2020.Â
Pada periode tersebut Drone Emprit Academic merekam lebih dari 120 ribu twit terkait isu vaksin Covid-19. Sentimen percakapan itu terbagi menjadi twit bernada negatif (34 persen), positif (42 persen), netral (24 persen).
Namun, sentimen pada periode tersebut di atas juga fluktuatif. Meski ada beberapa hari di mana twit bernada negatif mendominasi, ada pula hari ketika twit bernada positif atau netral lebih dominan.
Selanjutnya, kami mencoba memantau percakapan secara lebih spesifik, menggunakan filter kata kunci: China, Tiongkok, Sinovac, Sinopharm, Cansino dengan rentang pengambilan data mulai dari 1 hingga 25 November 2020. Karena kendala teknis, kami tidak merekam percakapan terkait topik ini pada periode yang sama dengan percakapan tentang vaksin Covid-19 secara umum, yang telah lebih dulu terpantau sejak awal.Â
Menurut data yang kami temukan, percakapan mengenai isu vaksin Covid-19 dari China didominasi oleh sentimen negatif (66 persen), yang diikuti oleh twit bernada positif (32 persen) dan netral (2 persen).Â
Selama periode pengambilan data terpantau bahwa sentimen negatif cenderung dominan, kecuali di tengah-tengah periode tersebut di mana sentimen positif sempat naik dan memuncak.
Emotion Analysis
Selain analisis sentimen, Drone Emprit Academic juga memungkinkan Liputan6.com untuk mengetahui emosi dari suatu twit. Grafik di bawah menyajikan bagaimana emosi dari twit terkait isu vaksin Covid-19 secara umum. Terlihat bahwa emosi Anticipation paling dominan, diikuti oleh Trust, Joy, Surprise, Fear, Angers, Sadness, dan Disgust.
Lalu untuk topik vaksin Covid-19 dari China, Anticipation juga menjadi jenis emosi paling dominan, diikuti oleh Joy, Fear, Surprise, Trust, Anger, Sadness, dan Disgust.
Â
Top Influencer
Top influencers pada percakapan mengenai vaksin Covid-19 secara umum adalah presiden Joko Widodo; Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, yang berpartisipasi sebagai relawan untuk uji coba vaksin; Dirga Sakti Rambe, dokter sekaligus vaksinolog pertama Indonesia lulusan University of Siena, Italia; Tirta Hudhi, lulusan Fakultas Kedokteran UGM yang kini menjalankan bisnis cuci sepatu dan sangat aktif di media sosial; Hidayat Nur Wahid, politikus sekaligus anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Partai Keadlian Sejahtera; Pandu Riono, ahli epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI); Fadli Zon, politikus dan anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra; dan beberapa akun lainnya seperti terlihat pada grafik Social Network Analysis di bawah ini.
Salah satu hal yang menonjol adalah Hidayat Nur Wahid (@hnurwahid) secara konsisten lantang bersuara tentang vaksin Covid-19 dari China. Pada 25 Agustus, Politikus PKS itu membagian artikel yang mengutip pernyataan epidemiolog yang menyarankan Indonesia jangan hanya tergantung pada China. Twit itu secara akumulatif mendapatkan lebih dari seribu respons.
Berselang dua hari kemudian, wakil ketua MPR RI periode 2019-2024 itu kembali menyitir artikel yang menyebut Rusia menawarkan vaksin Covid-19 Sputnik-V ke Indonesia dengan harga murah.
"Bila benar dan fakta bahwa uji coba vaksin dari China juga belum ada hasilnya, mestinya pemerintah buka kerja sama dengan Rusia, juga dengan Australia, Korsel, Inggris, dan AS untuk hadirkan vaksin itu," kata Hidayat mengomentari berita tersebut, yang mendapatkan lebih dari dua ribuan tanggapan.
Lalu pada 2 November 2020, dia kembali berkomentar mengenai vaksin sambil mengutip artikel tentang warga Brasil yang menolak vaksin Covid-19 dari China dan menyatakan bahwa mereka bukan kelinci percobaan.
"Pemerintah juga harus pastikan soal ini karena WNI tentu juga bukan kelinci percobaan. Negara diwajibkan oleh UUD untuk melindungi seluruh Rakyat Indonesia," tutur Hidayat dalam twit yang nyaris mendapatkan tiga ribuan respons tersebut.
Mengapa Hidayat Nur Wahid mengkritik vaksin ataukah dia termasuk kubu antivaksin?
"Tidak (antivaksin) ya. Pasti kita mendukung vaksin, tidak mungkin tidak mendukung karena Covid-19 ini salah satu solusinya vaksin," kata HNW kepada Liputan6.com, Selasa (24/11/2020) malam.
Meski demikian, ia menyebut protokol kesehatan dan usaha lain harus dilakukan pemerintah, sebab vaksin hingga kini belum ditemukan. Baca selengkapnya di tautan ini.
Sementara, top influencer lain, Presiden Jokowi mengatakan bahwa dirinya siap untuk menjadi penerima awal dari vaksin COVID-19 apabila diminta oleh tim.
"Kalau ada yang bertanya, 'presiden nanti di depan atau di belakang?', kalau oleh tim diminta saya yang paling depan, saya siap," kata Jokowi seperti dikutip dari siaran langsung di kanal Youtube Sekretariat Presiden.
Â
Kasus Brasil Picu Keraguan Vaksin China
Menurut data Drone Emprit Academic, percakapan spesifik tentang vaksin China mulai dari 1 hingga 25 November melibatkan lebih dari 4 ribuan twit.
Di percakapan ini, Hidayat Nur Wahid kembali menjadi salah satu top influencers antara lain karena twit yang mengomentari sikap warga Brasil.Â
Memang, kabar tentang Brasil yang membatalkan pemesanan vaksin China merupakan salah satu pemicu percakapan dengan topik ini. Kemudian Peru pun melakukan hal serupa. Twit dari akun resmi media massa arus utama lokal yang mengabarkan berita ini di Twitter, banyak ditanggapi oleh warganet seperti tampak di bawah ini.
Meski sempat dibatalkan, uji klinis vaksin asal China di Brasil dan Peru dilanjutkan, baca selengkapnya di tautan ini.Â
Advertisement
Akun Bot dan Anonim
Temuan kami di isu ini, terpantau banyak akun yang meramaikan tagar #VaksinAman dan #UjiKlinisAman dibuat pada bulan September dan Oktober 2020. Banyak di antara akun-akun itu pun tidak memiliki pengikut sama sekali, bahkan ada yang memakai foto profil default.Â
Â
Temuan menarik lainnya, akun dari "media alternatif" @OposisiCerdas [oposisicerdas.com] dan @geloraco [gelora.co] juga terlibat cukup aktif di percakapan ini. Liputan6.com menyematkan istilah "media alternatif" karena mereka tidak mencantumkan susunan redaksi dan/atau alamat jelas mereka.Â
Saat ini @OposisiCerdas dan @geloraco masing-masing memiliki lebih dari 50 ribu dan 180 ribu pengikut. Oleh karena itu, tidak mengejutkan jika kedua akun itu juga termasuk ke dalam Top Influencers.
Percakapan vaksin di Facebook
Menggunakan CrowdTangle, alat yang merekam percakapan publik yang dimiliki dan dioperasikan oleh Facebook, kami mencari postingan tentang vaksin Covid-19 di Facebook dengan interaksi tertinggi.Â
Untuk isu vaksin Covid-19 secara umum, ada seribu postingan yang terekam dan menghasilkan lebih dari lima juta respons dari pengguna Facebook (likes, comments, dll).Â
Halaman resmi milik media massa arus utama, termasuk Liputan6.com, menjadi salah satu kontributor terbesar dari posting tentang isu ini di Facebook dari 25 Agustus hingga 25 November 2020.
Â
Sementara itu, isu vaksin Covid-19 dari China menghasilkan sekitar lima puluh ribuan tanggapan (likes, comments, etc.) di Facebook. Â
Berdasarkan data, halaman yang paling banyak membagikan informasi terkait vaksin China pada periode 1-25 November 2020 juga didominasi oleh media massa arus utama, termasuk China Xinhua News versi Indonesia.Â
Â
Â
Ringkasan
Sentimen dan persepsi publik terkait vaksin Covid-19, khususnya di media sosial, tampak heterogen. Secara umum kubu positif masih mendominasi, tetapi tidak sedikit pula yang negatif dan netral. Namun, untuk isu vaksin China, reaksi warganet cenderung positif.
Menariknya, berdasarkan data, ada sejumlah faktor yang memengaruhi sentimen persepsi warganet, yakni pendapat tokoh, pemberitaan media massa, peristiwa di negara lain, dan akun bot maupun akun anonim yang diduga terkait penentuan agenda tertentu (agenda setting).Â
Target Vs Realisasi Vaksinasi Covid di Indonesia
Vaksinasi massal Covid-19 di Indonesia diagendakan pada Desember 2020 atau Januari 2021. Vaksin apa yang akan dipakai? Belum tahu. Hingga saat ini semua vaksin masih berstatus kandidat,Â
Sejauh ini, komitmen pengadaan vaksin Covid-19 di Indonesia yang berjalan baru dengan perusahaan farmasi Tiongkok, Sinovac. Uji klinis fase 3 kandidat vaksin Sinovac tengah dilakukan oleh tim peneliti Universitas Padjadjaran Bandung. Nantinya, jika berhasil dikembangkan, vaksin Covid-19 Sinovac akan diproduksi oleh Bio Farma.Â
Pemerintah terus menjajaki kerja sama dengan negara lain untuk pengadaan vaksin Covid-19. Terbaru, dengan produsen vaksin Pfizer dan AstraZeneca. Namun, Bio Farma melalui Direktur Operasi Rahman Roestan mengatakan bahwa potensi kerja sama tersebut masih terus dikaji, salah satunya mengenai pendistribusian, mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan dan tropis.Â
"Bukan hanya masalah kecepatan, kecukupan, tetapi juga kepraktisan di lapangan dan bisa tidaknya nanti secara teknis didistribusikan ke berbagai provinsi," ujarnya.
Jika Pemerintah dapat mendatangkan vaksin siap pakai dalam waktu dekat, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) siap melakukan pendampingan terkait mutu, keamanan, dan khasiat, pada vaksin COVID-19 yang akan digunakan di Indonesia dari mana pun asalnya.
"Apapun keputusan dari pemerintah untuk memilih vaksin mana yang akan masuk ke Indonesia, kami siap untuk mendampingi, melihat aspek mutunya, keamanan, dan khasiatnya," kata Kepala BPOM Penny K Lukito dalam konferensi pers secara virtual terkait vaksin COVID-19, usai mengunjungi Bio Farma pada Kamis (26/11/2020).
BPOM bisa memberikan Izin Penggunaan Darurat atau Emergency Use Authorization (EUA), meski vaksin COVID-19 tersebut tidak melakukan uji klinis di Indonesia. Asalkan, vaksin telah melalui kajian yang benar di negara-negara lain sehingga datanya bisa digunakan oleh BPOM untuk mendapatkan kelayakan izin penggunaan di Indonesia.Â
"Apabila vaksin tersebut sudah di-review oleh otoritas obat suatu negara, yang baik proses evaluasinya, seperti di US FDA dan beberapa negara lain yang menjadi reliance kami, bisa juga kami berikan Emergency Use Authorization," ujarnya.
Mengacu pada pedoman persetujuan emergensi dari WHO (WHO Emergency Listing), US Food and Drug Administration (FDA), dan European Medicines Agency/EMA (Conditional Approval), ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar BPOM dapat memberi izin guna darurat vaksin Covid-19. Syarat tersebut yakni vaksin harus sudah memiliki data uji klinis fase 1 dan 2 secara lengkap, serta data analisis interim uji klinis fase 3, dan data efficacy (khasiat) vaksin COVID-19 minimum 50 persen.
Meski nantinya sudah mendapatkan EUA, uji klinis lanjutan terhadap vaksin COVID-19 akan tetap dilakukan.
"Clinical trial akan berjalan terus walaupun sudah diberikan Emergency Use Authorization, trial untuk vaksin agar mendapatkan data-data terkait efikasinya akan terus berjalan. Badan POM akan terus mengawal," ujar Penny dalam konferensi pers virtual dari kantor BPOM, Jakarta pada Kamis (19/11/2020).Â
Pengawalan bersama tim pemantau Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) juga tetap dilakukan untuk melihat keamanan vaksin COVID-19.
Selain EUA, Penny menyebut ada alternatif lain untuk penggunaan vaksin di masa darurat yang juga diberikan WHO, yakni Compassionate Use. Izin ini diberikan bagi obat atau vaksin yang masih dalam pengembangan tapi sudah punya cukup data yang dikaitkan dengan mutu yang sudah sesuai ketentuan dan keamanan tapi belum terlihat kemanjuran (efficacy)-nya.Â
"Penggunaan Compassionate Use bisa diberikan tentunya dengan ada permintaan dari Kementerian atau fasilitas kesehatan untuk bisa diberikan dengan perluasan akses obat uji atau vaksin uji untuk kepentingan restricted. Jadi untuk kepentingan-kepentingan tertentu," jelas Penny dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI, Selasa (17/11).Â
Penggunaan Compassionate Use vaksin Covid-19 sudah digunakan di China dan Uni Emirat Arab. "Itu sudah diberikan di China untuk tenaga kesehatan, militer, dan guru. Demikian juga di Uni Emirat Arab," ucap Penny.
Compassionate Use juga pernah dilakukan pada vaksin Ebola dan Demam Kuning (Yellow Fever) di Amerika.Â
Advertisement