Liputan6.com, Jakarta - Modal ventura asal Tiongkok dilaporkan mulai beralih untuk fokus ke pasar Indonesia, setelah India mulai membatasi investasi dari Tiongkok. Keputusan ini merupakan buntut dari polemik politik yang terjadi antara Tiongkok dan India.
Dikutip dari Financial Times, Selasa (1/12/2020), salah satu modal ventura yang menyatakan akan mulai fokus berinvestasi di Indonesia adalah Shunwei Capital. Modal venturaini dibangun oleh Xiaomi dan BAce Capital yang didukung oleh Ant Group.
Salah satu pendiri Shunwei Capital, Tuck Lye Koh, menuturkan pihaknya memang kini memang tengah berencana melakukan sejumlah kesepakatan investasi di Indonesia. Dia juga menuturkan saat ini tidak akan melakukan investasi baru di India dan fokus pada portofolio perusahaan yang sudah ada.
Advertisement
Sumber lain yang mengetahui rencana BAce Capital ini juga mengonfirmasi rencana untuk mengalihkan investasi ke Indonesia, meski kemungkinan tidak akan terlalu aktif.
Baca Juga
Selain Shunwei Capital, model ventura Tiongkok lain juga menuturkan Indonesia memang kini menjadi pasar di Asia Tenggara yang memerlukan perhatian serius setelah India menutup akses investasi dari negara mereka.
Sebagai informasi, venture capital dan investor teknologi asal Tiongkok disebut turut berperan membuat perusahaan teknologi booming di India. Banyak dari investor yang berinvestasi ke perusahaan startup kenamaan India, seperti Paytm, Zomato, dan Byju.
Namun sejak tahun ini, pemerintah India mulai membatasi investasi yang dilakukan investor asal Tiongkok, terutama dari upaya akusisi. Tidak hanya itu, baru-baru ini, ada 43 aplikasi asal Tiongkok yang masuk dalam daftar hitam India.
Di sisi lain, startup Indonesia memang sedang menjadi pasar investasi menarik di Asia Tenggara. Hal itu dapat dilihat dari sejumlah perusahaan besar seperti Facebook, PayPal, hingga Google yang berinvestasi tahun ini.
Riset Google: Semakin Banyak Perempuan Indonesia Ingin Berwirausaha
Baru-baru ini, Google merilis hasil penelitian yang ditujukan untuk memahami keinginan-keinginan terkait kewirausahaan dari perempuan Indonesia serta tantangan yang mereka hadapi.
Melalui program bertajuk "Women Will", Google bersama dengan Kantar menyurvei 990 perempuan dan 510 laki-laki pada Januari dan Februari 2020 tentang alasan mereka memilih untuk bekerja serta hal-hal penting lainnya bagi mereka saat mencari pekerjaan.
Program tersebut juga memberikan pelatihan dan peningkatan keterampilan bagi perempuan pemilik bisnis.
Dalam penelitian berjudul "Advancing Women in Entrepreneurship" itu, disebutkan bahwa 49 persen perempuan menyatakan diri sebagai pewirausaha dengan bisnis yang mereka jalankan sendiri saat ini.
Sementara 45 persen lainnya menuturkan baru ingin berwirausaha. Dari sisi responden laki-laki, 61 persen menyebut sudah menjadi pewirausaha dan 34 persen mengaku ingin berwirausaha.
"Ada peluang untuk menggunakan pelatihan online sebagai cara memenuhi keinginan belajar keterampilan tambahan dan mendukung kesuksesan pewirausaha perempuan," ujar Veronica Utami, Marketing Director, Google Indonesia.
Advertisement
Temuan Lain
Lebih lanjut, setidaknya 8 dari 10 perempuan yang sudah atau ingin berwirausaha di Indonesia mengungkapkan bahwa mereka ingin meningkatkan keterampilan dalam menjalankan bisnis. Hal itu antara lain termasuk keterampilan berbisnis, pengelolaan uang, keterampilan digital, dan sebagainya.
Temuan lainnya, 83 persen perempuan menyatakan bersedia mengikuti pelatihan online. Bahkan, ini merupakan angka tertinggi di Asia Tenggara.
Di kawasan ini, pengguna internet perempuan menyebutkan bahwa mereka menghabiskan rata-rata 5,5 jam sehari untuk online dan 85 persen di antaranya menggunakan ponsel untuk mengakses internet.
"Selain itu, setelah acara pelatihan dan berjejaring harus lebih banyak dilakukan secara online akibat COVID-19, kita memiliki kesempatan bagus untuk memanfaatkan sikap terbuka mereka terhadap pelatihan online," tutur Veronica.
Namun, perempuan juga masih dianggap seharusnya berfokus untuk mengurus rumah tangga, meski angka partisipasi perempuan dalam bidang kewirausahaan di Indonesia tertinggi di Asia Tenggara. Hal ini tecermin dari rendahnya penerimaan secara budaya terhadap ibu yang bekerja purnawaktu.
Data menunjukkan bahwa perempuan lebih mungkin daripada laki-laki untuk bisa menerima hal tersebut, dengan rincian 52 persen perempuan percaya bahwa perempuan seharusnya boleh bekerja purnawaktu setelah menjadi ibu, sementara laki-laki yang setuju hanyalah 41 persen.
(Dam/Ysl)