Sukses

Riset: Mematikan Kamera Selama Video Conference Baik untuk Lingkungan

Ternyata, mematikan kamera selama video conference dapat mengurangi jejak karbon dioksida yang dihasilkan.

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah studi terbaru melaporkan bahwa meskipun ada rekor penurunan emisi karbon global pada tahun 2020, peralihan aktivitas secara virtual yang didorong oleh pandemi juga menimbulkan dampak lingkungan.

Menurut para peneliti dari Purdue University, Yale University dan Massachusetts Institute of Technology tersebut, satu jam video conference atau video streaming menghasilkan 150 hingga 1.000 gram karbon dioksida. Sebagai perbandingan, sekitar satu galon (3.78 liter) bensin yang dibakar dari mobil mengeluarkan sekitar 8.887 gram karbon dioksida.

Ternyata, mematikan kamera selama video conference dapat mengurangi jejak karbon dioksida tersebut hingga 96 persen. Selain itu, streaming konten dengan setelan SD alih-alih HD pada layanan seperti Netflix dan lainnya juga dapat menurunkan jejak karbon hingga 86 persen.

Ini merupakan studi pertama yang menganalisis jejak air dan tanah yang terkait dengan infrastruktur internet selain jejak karbon, yang terbit di jurnal Resources, Conservation & Recycling.

"Jika Anda hanya fokus pada satu jenis jejak [jejak karbon saja], Anda akan melewatkan jejak lainnya yang dapat memberikan pandangan lebih holistik tentang dampak lingkungan," kata Roshanak Nateghi, seorang profesor teknik industri di Purdue University dikutip dari rilis pers via Eurekalert, Senin (18/1/2021),.

Sejumlah negara telah melaporkan setidaknya peningkatan 20 persen dalam lalu lintas internet sejak Maret. Jika tren ini berlanjut hingga akhir 2021, menurut studi tersebut, untuk menyerap karbon yang dihasilkan oleh aktivitas itu diperlukan hutan seluas 71.600 mil persegi.

Air tambahan yang dibutuhkan dalam pemrosesan dan transmisi data juga kurang lebih sepadan untuk mengisi lebih dari 300.000 kolam renang ukuran olimpiade. Sementara jejak tanah yang dihasilkan kira-kira seukuran dengan luas Los Angeles.

Pada praktiknya, tim tersebut memperkirakan jejak karbon, air, dan tanah yang terkait dengan setiap gigabyte data yang digunakan di YouTube, Zoom, Facebook, Instagram, Twitter, TikTok, dan 12 platform lainnya, serta di gim online dan aktivitas di web lainnya yang relevan.

 

2 dari 3 halaman

Kontribusi terhadap emisi global

Sesuai perkiraan, semakin banyak video yang digunakan dalam suatu aplikasi, semakin besar jejaknya. Karena pemrosesan data mengonsumsi banyak listrik, dan produksi listrik apa pun memiliki jejak karbon, air, dan tanah, menekan konsumsi data akan mengurangi kerusakan lingkungan.

Sebelum lockdown Covid-19 di banyak negara di dunia, terhitung jejak karbon internet telah meningkat dan itu berkontribusi atas sekitar 3,7 persen dari emisi gas rumah kaca secara global.

Namun, menurut Kaveh Madani, visiting fellow di Yale MacMillan Center yang memimpin dan mengarahkan studi ini, jejak air dan tanah dari infrastruktur internet sebagian besar selama ini telah diabaikan tentang bagaimana penggunaan internet berdampak pada lingkungan.

Dia bekerja sama dengan kelompok penelitian Nateghi untuk menyelidiki jejak kaki ini dan bagaimana jejak tersebut dapat terpengaruh oleh peningkatan lalu lintas internet, menemukan bahwa jejak kaki tidak hanya berbeda menurut platform web, tetapi juga menurut negara.

 

3 dari 3 halaman

Data

Tim peneliti mengumpulkan data untuk Brasil, Cina, Prancis, Jerman, India, Iran, Jepang, Meksiko, Pakistan, Rusia, Afrika Selatan, Inggris, dan AS.

Mereka menemukan bahwa memproses dan mentransmisikan data internet di AS, memiliki jejak karbon 9 persen lebih tinggi daripada median secara global, tetapi jejak air dan tanah masing-masing 45 dan 58 persen lebih rendah.

Memasukkan jejak air dan tanah dari infrastruktur internet juga memberi gambaran mengejutkan bagi beberapa negara. Sebagai salah satu pionir dalam hal energi terbarukan, Jerman memiliki jejak karbon jauh di bawah median dunia, tetapi jejak air dan tanahnya jauh lebih tinggi.