Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah organisasi masyarakat sipil, aktivis, dan individu di Asia Tenggara menyerukan ajakan untuk mendesak militer di Myanmar menghentikan kekerasan, memulihkan jaringan internet, dan menghormati hak-hak digital warga Myanmar.
"1 Februari 2021 telah terjadi pengambilalihan kekuasaan di Myanmar. Dengan dalih diberlakukannya UU Darurat 2008, militer Myanmar mengambil alih pemerintahan dan menahan tokoh-tokoh kritis di penjara," kata para akvitis dalam pernyataan terbuka.
Baca Juga
Wapres Myinth Swe yang memiliki latar belakang militer telah mengangkat dirinya sebagai pemimpin dan mengumumkan Situasi Darurat. Selain itu, dia pun menyatakan bahwa lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif telah diserahkan kepada Panglima Tertinggi selama satu tahun.
Advertisement
Peristiwa ini juga terjadi bersamaan dengan penangkapan dan penahanan terhadap pimpinan politik seperti Aung San Suu Kyi, U Win Myint, U Phyo Min Thein, Dr Zaw Myint Maung. Dr Aung Moe Nyo, Daw Nan Khin Htwe Myint, dan U Nyi Pu.
Militer juga menangkap aktivis, penulis, pemimpin mahasiswa, seperti Min Htin Ko Ko Gyi (Pembuat Film), Min Thway Thit (Pemimpin Mahasiswa), U Min Ko Naing, U Mya Aye (Mahasiswa Generasi 88), Maung Thar Cho, Daw Than Myint Aung, Tharawun-Pyi (Penulis), Saw Poe Kwar (Penyanyi), dan banyak lainnya.
Oleh karena itu, lewat pernyataan terbuka ini elemen-elemen yang tergabung menutut agar semua pemimpin, aktivis, pembela hak asasi manusia, jurnalis, dan semua pihak yang mungkin dianggap mengkritik militer dari tindakan kekerasan ini supaya dibebaskan dan dilindungi.
Kemudian menurut pantauan NetBlocks Internet Observatory, gangguan telekomunikasi di Myanmar mulai terlihat pada pukul 03:00 Senin (1/2/2021) pagi waktu setempat.
"Pemutusan berkelanjutan telah dipantau dengan konektivitas nasional yang awalnya turun menjadi 75 persen pada pukul 03.00 dan kemudian menjadi 50 persen pada pukul 08:00 waktu setempat," tutur NetBlocks dikutip dari laporannya.
NetBlocks juga melaporkan isu ini terjadi di jaringan beberapa operator, termasuk operator milik negara, Myanma Posts and Telecommunications (MPT), serta operator internasional Telenor.
"Temuan awal menunjukkan mekanisme gangguan yang diarahkan secara terpusat yang menargetkan layanan seluler dan beberapa layanan telepon tetap," tutur NetBlocks.
Â
Temuan di lapangan
Ini juga dikuatkan oleh pengguna di lapangan serta para jurnalis yang kesulitan dalam mengakses internet dan kehilangan konektivitas telepon secara bersamaan.
Mengenai masalah tersebut, pernyataan ini juga menuntut supaya jaringan internet di Myanmar dipulihkan karena ia berperan penting bagi proses transparansi.
"Menghentikan dan memfilter pengguna dari akses Internet, terlepas dari pembenaran yang diberikan, menjadi tidak proporsional dan dengan demikian melanggar pasal 19 ayat 3 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Kami juga mengajak Anda untuk membubuhkan tanda tangan Anda di ajakan solidaritas ini."
We #StandWithMyanmar
1. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
2. Dody Priambodo, Jakarta, Indonesia
3. NetBlocks
4. Migrant CARE
5. Asia Democracy Network (ADN)
6. Human Rights Working Groups (HRWG)
7. PurpleCode Collective
8. Perkumpulan Inisiatif - Indonesia
9. Bandung Digital Defender Indonesia
10. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)/Indonesia Legal Aid Foundation
11. Cambodian Food and Service Workers'Federation (Cambodia)
12. The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia
13. DHEWA (Development for Health Education Work & Awareness) Pakistan
14. Imparsial (The Indonesian Human Rights Monitor)
15. Yayasan Perlindungan Insani Indonesia (YPII)
16. Gayathry Venkiteswaran (Malaysia)
17. Edgardo Legaspi (Philippines)
18. Center for Alliance of Labor and Human Rights (CENTRAL)
19. Sarinah Institute (Indonesia)
https://pad.kefir.red/etherpad/pads/standwithmyanmar
Advertisement