Sukses

Pemerintah Militer Myanmar Blokir Akses Facebook, WhatsApp, dan Instagram

Pemerintah militer baru di Myanmar dilaporkan telah meminta operator setempat memblokir akses ke Facebook.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintahan baru militer Myanmar dilaporkan telah meminta operator lokal di negara tersebut untuk memblokir Facebook selama tiga hari, hingga 7 Januari 2021.

Informasi ini dilaporkan sejumlah pengguna Reddit asal Myanmar yang menyebut Facebook sudah tidak dapat diakses melalui smartphone mereka. Dengan kata lain, pemblokiran sudah dilakukan oleh operator setempat.

Dikutip dari Tech Crunch, Kamis (4/2/2021), pemerintah baru militer Myanmar memblokir Facebook sebab media sosial itu dianggap mengganggu kestabilan nasional.

Menurut NetBlock, pemblokiran ini banyak dirasakan pelanggan MPT, operator yang dimiliki negara. Selain Facebook, layanan lain seperti Messenger, Instagram, dan WhatsApp juga tidak bisa diakses.

Terkait pembokiran ini, juru bicara Facebook mengatakan mereka sudah mengetahui kondisi yang terjadi. Karenanya, mereka meminta otoritas di Myanmar untuk mengembalikan akses konektivitas.

"Kami mendesak pihak berwenang memulihkan konektivitas sehingga orang-orang di Myanmar dapat berkomunikasi dengan keluarga dan teman mereka, serta mengakses informasi penting," tutur juru bicara perusahaan.

Untuk diketahui, keputusan pemblokiran ini dilakukan tidak lama setelah aksi kudeta militer Myanmar mengambil alih kontrol negara dan mendeklarasikan kondisi darurat selama setahun.

Di sisi lain, Facebook sendiri sebenarnya di Myanmar disebut-sebut sering menjadi sarana penyebaran misinformasi yang berujung pada aksi kekerasan di dunia nyata. 

2 dari 3 halaman

Aktivis Desak Pemulihan Jaringan Internet di Myanmar

Sejumlah organisasi masyarakat sipil, aktivis, dan individu di Asia Tenggara menyerukan ajakan untuk mendesak militer di Myanmar menghentikan kekerasan, memulihkan jaringan internet, dan menghormati hak-hak digital warga Myanmar.

"1 Februari 2021 telah terjadi pengambilalihan kekuasaan di Myanmar. Dengan dalih diberlakukannya UU Darurat 2008, militer Myanmar mengambil alih pemerintahan dan menahan tokoh-tokoh kritis di penjara," kata para akvitis dalam pernyataan terbuka.

Wapres Myinth Swe yang memiliki latar belakang militer telah mengangkat dirinya sebagai pemimpin dan mengumumkan Situasi Darurat. Selain itu, dia pun menyatakan bahwa lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif telah diserahkan kepada Panglima Tertinggi selama satu tahun.

Peristiwa ini juga terjadi bersamaan dengan penangkapan dan penahanan terhadap pimpinan politik seperti Aung San Suu Kyi, U Win Myint, U Phyo Min Thein, Dr Zaw Myint Maung. Dr Aung Moe Nyo, Daw Nan Khin Htwe Myint, dan U Nyi Pu.

Militer juga menangkap aktivis, penulis, pemimpin mahasiswa, seperti Min Htin Ko Ko Gyi (Pembuat Film), Min Thway Thit (Pemimpin Mahasiswa), U Min Ko Naing, U Mya Aye (Mahasiswa Generasi 88), Maung Thar Cho, Daw Than Myint Aung, Tharawun-Pyi (Penulis), Saw Poe Kwar (Penyanyi), dan banyak lainnya.

Oleh karena itu, lewat pernyataan terbuka ini elemen-elemen yang tergabung menutut agar semua pemimpin, aktivis, pembela hak asasi manusia, jurnalis, dan semua pihak yang mungkin dianggap mengkritik militer dari tindakan kekerasan ini supaya dibebaskan dan dilindungi.

Kemudian menurut pantauan NetBlocks Internet Observatory, gangguan telekomunikasi di Myanmar mulai terlihat pada pukul 03:00 Senin (1/2/2021) pagi waktu setempat.

"Pemutusan berkelanjutan telah dipantau dengan konektivitas nasional yang awalnya turun menjadi 75 persen pada pukul 03.00 dan kemudian menjadi 50 persen pada pukul 08:00 waktu setempat," tutur NetBlocks dikutip dari laporannya.

NetBlocks juga melaporkan isu ini terjadi di jaringan beberapa operator, termasuk operator milik negara, Myanma Posts and Telecommunications (MPT), serta operator internasional Telenor.

"Temuan awal menunjukkan mekanisme gangguan yang diarahkan secara terpusat yang menargetkan layanan seluler dan beberapa layanan telepon tetap," tutur NetBlocks.

3 dari 3 halaman

Temuan di lapangan

Ini juga dikuatkan oleh pengguna di lapangan serta para jurnalis yang kesulitan dalam mengakses internet dan kehilangan konektivitas telepon secara bersamaan.

Mengenai masalah tersebut, pernyataan ini juga menuntut supaya jaringan internet di Myanmar dipulihkan karena ia berperan penting bagi proses transparansi.

"Menghentikan dan memfilter pengguna dari akses Internet, terlepas dari pembenaran yang diberikan, menjadi tidak proporsional dan dengan demikian melanggar pasal 19 ayat 3 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Kami juga mengajak Anda untuk membubuhkan tanda tangan Anda di ajakan solidaritas ini."

We #StandWithMyanmar

1. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)

2. Dody Priambodo, Jakarta, Indonesia

3. NetBlocks

4. Migrant CARE

5. Asia Democracy Network (ADN)

6. Human Rights Working Groups (HRWG)

7. PurpleCode Collective

8. Perkumpulan Inisiatif - Indonesia

9. Bandung Digital Defender Indonesia

10. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)/Indonesia Legal Aid Foundation

11. Cambodian Food and Service Workers'Federation (Cambodia)

12. The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia

13. DHEWA (Development for Health Education Work & Awareness) Pakistan

14. Imparsial (The Indonesian Human Rights Monitor)

15. Yayasan Perlindungan Insani Indonesia (YPII)

16. Gayathry Venkiteswaran (Malaysia)

17. Edgardo Legaspi (Philippines)

18. Center for Alliance of Labor and Human Rights (CENTRAL)

19. Sarinah Institute (Indonesia)

https://pad.kefir.red/etherpad/pads/standwithmyanmar

(Dam/Ysl)