Liputan6.com, Jakarta - Microsoft dilaporkan sedang dalam pembicaraan lanjutan untuk membeli perusahaan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) Nuance Communications dengan harga sekitar US$ 16 miliar atau setara Rp 234 triliun.
Mengenai pembahasan harga, saham Nuance bisa berada di sekitar US$ 56 per saham. Menurut sumber yang mengetahui hal ini, kesepakatan rencananya akan diumumkan secepatnya pada Senin (12/4/2021). Saham Nuance ditutup Jumat (9/4/2021) dengan nilai US$ 45,58 per saham.
Baca Juga
Bloomberg News, yang pertama kali melaporkan kesepakatan antara Nuance dan Microsoft, melaporkan pembicaraan saat ini sedang berlangsung dan kesepakatan kemungkinan bisa berubah.
Advertisement
Nuance melalui teknologi pengenalan suaranya membantu Apple meluncurkan asisten Siri, juga membuat perangkat lunak untuk berbagai sektor mulai dari perawatan kesehatan hingga industri otomotif.
Mengutip New York Post, kesepakatan dengan Nuance akan menjadi akuisisi terbesar kedua Microsoft, setelah perusahaan membeli LinkedIn senilai US$ 26,2 miliar atau sekitar Rp 383 triliun pada 2016.
Hingga berita ini naik, baik Microsoft dan Nuance belum menanggapi rumor ini.
Â
Microsoft Menang Tender Headset AR untuk Militer Senilai Rp 174 Triliun
Microsoft memenangkan kontrak hampir U$ 22 miliar atau sekitar Rp 174 triliun dalam memasok headset augmented reality (headset AR) untuk pasukan tempur/militer Angkatan Darat Amerika Serikat (U.S. Army).
Mengutip New York Post, Sabtu (3/4/2021), teknologi ini didasarkan pada headset HoloLens buatan Microsoft yang awalnya ditujukan untuk industri video gim dan hiburan.
Pejabat Pentagon menggambarkan teknologi futuristik--Angkatan Darat menyebutnya sebagai Sistem Augmentasi Visual Terpadu (Visual Augmentation System)--sebagai cara untuk meningkatkan kesadaran tentara tentang lingkungan mereka serta kemampuan mereka untuk melihat target dan bahaya.
Layar yang terpasang di head mounted HoloLens memungkinkan orang melihat citra virtual di depan mata mereka, mulai dari hologram di dunia gim virtual hingga petunjuk perbaikan yang mengambang di atas gadget yang rusak.
Dalam situs web resminya, U.S. Army menyebut tentara telah menguji gadget itu pada tahun lalu di Fort Pickett, Virginia.
Teknologi besutan Microsoft tersebut diklaim dapat membantu pasukan mendapatkan keuntungan di medan perang yang semakin hectic, gelap, dan tidak dapat diprediksi.
Advertisement
Produksi Massal
Angkatan Darat pertama kali mulai menguji sistem Microsoft dengan kontrak US$ 480 juta pada 2018 dan mengatakan headset dapat digunakan untuk pelatihan dan pertempuran.
Kontrak baru ini memungkinkan Microsoft untuk memproduksi unit secara massal untuk lebih dari 120.000 tentara di Army Close Combat Force.
Microsoft mengatakan kontrak tersebut akan berjumlah hingga US$ 21,88 miliar selama dekade berikutnya, dengan perjanjian dasar lima tahun yang dapat diperpanjang untuk lima tahun lagi.
Â
Teknologi Ini Menjanjikan, Tapi...
Belum jelas, apakah hal itu sesuai dengan anggaran kebijakan pertahanan senilai US$ 740 miliar yang disahkan Kongres pada Januari, setelah mengesampingkan veto oleh Presiden Donald Trump.
RUU tersebut menegaskan kenaikan gaji sebesar tiga persen untuk pasukan AS, tetapi sudah termasuk pemotongan inisiatif headset.
Senator Jack Reed yang memimpin Komite Angkatan Bersenjata Senat, mengatakan bahwa teknologi ini menjanjikan, tetapi hasilnya harus dipantau dengan cermat.
"Itu tugas kami untuk mempermasalahkan hal tersebut jika teknologinya tidak memenuhi kebutuhan kami, baik untuk pasukan saat ini dan di masa depan," katanya.
Sementara Presiden Microsoft Brad Smith mengatakan kepada komite Reed bahwa teknologi tersebut dapat mengintegrasikan penglihatan malam thermal dan pengenalan wajah untuk memberi tentara "analitik real-time" di medan perang jarak jauh.
Advertisement