Sukses

ICJR Jabarkan 6 Poin Penting Terkait Pedoman Implementasi Revisi UU ITE

ICJR menilai pedoman implementasi UU ITE harus mendorong penyegeraan pembahasan revisi undang-undang tersebut.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Komunikasi dan Informatika/Menkominfo Johnny G. Plate mengumumkan pihaknya bersama Kapolri dan Jaksa Agung telah menandatangani SKB mengenai pedoman implementasi sejumlah pasal tertentu yang sering dianggap karet dalam UU ITE.

Mengenai pedomaan atau SKB ini, ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) menuturkan pihaknya melihat ada beberapa ketentuan yang dapat berpeluang membantu perbaikan masalah implementasi UU ITE di lapangan. Namun, mereka masih memiliki beberapa catatan sebagai dasar kuat agar revisi UU ITE dapat segera dilakukan.

"Melihat isi pedoman ini setidaknya ICJR menilai ada beberapa pengaturan yang berpeluang dapat memperbaiki implementasi aturan UU ITE. Namun tentu, perlu ditegaskan kembali, pedoman ini disusun sebagai pedoman implementasi dalam masa transisi pengesahan revisi kedua UU ITE, seperti yang dijanjikan pemerintah," ujar Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu dalam keterangan resmi yang diterima, Jumat (25/6/2021).

Oleh sebab itu, Erasmus menuturkan, pedoman semacam ini tidak boleh menjadi kebiasaan dalam menjawab permasalahan norma dalam sebuah undang-undang. Dia juga mengatakan pedoman ini harus menjadi isyarat penting revisi UU ITE segera dibahas pemerintah dan DPR.

"Sebab tanpa revisi UU ITE, maka tidak ada jaminan pasti selesainya berbagai permasalahan yang tidak dapat disentuh pedoman UU ITE," tuturnya.

Adapun beberapa catatan ICJR terkait pedoman UU ITE ini dijabarkan dalam beberapa poin, sebagai berikut.

1. Pasal 27 Ayat (1) tentang Kesusilaan UU ITE Pedoman telah merujuk pasal 281-282 KUHP dan UU Pornografi

ICJR menyorot, berbeda dari KUHP dan UU Pornografi yang mengatur pelanggaran kesusilaan haruslah di muka umum atau untuk keperluan komersial, pedoman masih mengatur korespondensi orang ke orang dapat dijerat, tanpa secara tegas memastikan perbuatan yang dipidana adalah perbuatan transmisi/distribusi/membuat dapat diakses harus ditujukan untuk diketahui umum.

Hal ini tetap membuka ruang kriminalisasi bagi korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) atau korepondensi privat atau pribadi yang tidak ditujukan untuk umum maupun tidak untuk kebutuhan komersil. 

2. Pasal 27 Ayat (3) tentang Pencemaran Nama Baik

Pedoman pasal ini merupakan yang paling baik dalam upaya meluruskan masalah implementasi UU ITE.

SKB Pedoman memberikan penegasan Pasal 27 Ayat (3) merujuk ke Pasal 310 dan 311 KUHP sebagai delik pokoknya, sehingga hanya bisa digunakan lewat aduan korban/seseorang yang diserang kehormatan, dan korban di sini hanya dimengerti sebagai orang perseorangan (naturlijkpersoon) dan bukan badan hukum (rechtpersoon).

Pedoman juga berhasil memberikan gradasi dari apa perbuatan 'menyerang kehormatan', dan memberikan pengecualian bagi delik penghinaan ringan untuk tidak bisa digunakan dengan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE.

2 dari 3 halaman

Catatan Lain dari ICJR

3. Pasal 27 Ayat (4) tentang Pemerasan/Pengancaman

ICJR juga memberikan catatan baik pada pedoman SKB untuk pasal ini yang bisa memberikan perlindungan bagi korban KBGO. Kendati, pasal ini sejatinya sudah ada dan merupakan duplikasi dari KUHP.

Merujuk pada substansi: 'Termasuk dalam perbuatan pidana Pasal 27 Ayat (4) UU ITE perbuatan mengancam akan membuka rahasia, mengancam menyebarkan data pribadi, foto pribadi, dan/atau video pribadi', maka korban-korban KBGO dapat melaporkan tindakan pengancaman dan pemerasan kepada mereka, dan aparat penegak hukum tidak lagi dapat berkelit tidak ada pasal pidana untuk menjerat pengancam atau pemeras korban KBGO.

4. Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian

Pedoman berusaha memberikan batasan terkait ujaran kebencian, hal ini bisa menjadi langkah awal untuk melakukan revisi UU ITE. Namun, permasalahan sesungguhnya terletak pada pengertian 'antargolongan'.

Adapun unsur 'antargolongan' masih menjadi masalah serius pasca-putusan MK, sehingga ini memang harus direvisi nantinya.

Sejalan dengan Putusan MK yang meminta pembentuk undang-undang untuk melihat adanya kelompok lain di luar SARA yang menjadi bagian dari 'antargolongan' maka dalam konteks itu, pemerintah dan DPR harus mempertegas “antargolongan” ini tetap berdasar pada identitas masyarakat atau warga negara, yang merupakan sesuatu yang melekat dan susah diubah, bukan profesi, kelompok, atau hal lain yang mudah untuk berubah-ubah.

 

3 dari 3 halaman

Catatan Lainnya

5. Pasal 29 UU ITE tentang Pengancaman di Ruang Siber (Cyberbullying)

Pedoman pasal ini cukup bermasalah karena tidak memasukkan syarat pasal ini sebagai delik aduan, pasal ini harusnya merupakan delik aduan karena ditujukan pada pribadi. Hal ini harus dipertegas, khususnya dalam revisi UU ITE nantinya.

6. Pasal 36 tentang Perbuatan Pidana yang Menyebabkan Kerugian bagi Orang Lain

Pedoman belum mempertegas peran dari Polisi dan Jaksa dalam melakukan pemeriksaan kerugian materiil dari pelanggaran yang diderita korban akibat Pasal 27–34 UU ITE.

Hal ini diperlukan karena di dalam praktiknya, banyak ditemui pasal ini digunakan semata-mata agar aparat penegak hukum bisa melakukan penahanan bagi perbuatan pidana yang diancamkan dibawah lima tahun dan tidak bisa dilakukan upaya paksa.

Namun, setidaknya dengan adanya ketentuan bahwa kerugian adalah delik materiil, polisi maupun jaksa perlu mencari alat bukti nyata kerugian tersebut sebelum menggunakan pasal ini.

(Dam/Isk)