Liputan6.com, Jakarta Olimpiade Tokyo 2020 di Jepang tidak hanya dibayangi ancaman Covid-19, tetapi juga panas. Musim panas Tokyo yang lembab dan panas berisiko menimbulkan masalah kesehatan terkait panas seperti heatstroke.
Kekhawatiran akan heatstroke pun muncul pada mereka yang terlibat dalam penyelenggaraan Olimpiade. Hal ini bisa menjadi masalah besar di saat layanan kesehatan juga harus berjibaku dengan pandemi virus corona.
Baca Juga
Perusahaan teknologi Alibaba pun turun tangan untuk membantu pencegahan heatstroke atau sengatan panas, pada staf Olimpiade.
Advertisement
Dilansir dari Engadget, Sabtu (24/7/2021), Alibaba merancang solusi berbasis cloud untuk memantau suhu tubuh dan detak jantung para pekerja Olimpiade Tokyo 2020/2021.
Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini
Staf Gunakan Perangkat di Telinga
Staf Olimpiade akan mengenakan sebuah perangkat pintar di telinga mereka. Alat itu akan melacak statistik dan indeks lingkungan, yang akan dipantau melalui pengukur tekanan panas yang dipasang di segala tempat.
Data tersebut lalu dikirim ke teknologi berbasis cloud, yang akan mengidentifikasi tingkat risiko heatstroke setiap penggunanya secara real time.
Staf yang dinilai sangat berisiko mengalami sengatan panas akan mendapatkan peringatan di ponselnya. Mereka lalu disarankan untuk melakukan tindakan pencegahan seperti minum lebih banyak air secepatnya.
Sepanjang 2020, Tokyo melaporkan hampir 200 kematian terkait panas di wilayah tersebut. Maka dari itu, para atlet dan staf pun harus bersiap untuk kondisi tersebut.
Advertisement
Kekhawatiran Sejak Lama
Mengutip Aljazeera, sejak 2013, ketika Tokyo memenangkan tawaran untuk jadi tuan rumah Olimpiade, ada kekhawatiran untuk mengadakan acara tersebut di akhir Juli hingga awal Agustus.
Di periode tersebut, suhu biasanya mencapai 35 derajat Celsius dan kelembaban berkisar antara 70 hingga 80 persen sehingga membuatnya lebih panas. Perubahan iklim pun membuat situasi semakin tak nyaman.
Makoto Yokohari, Profesor Lingkungan dan Perencanaan Kota di Universitas Tokyo, menjelaskan saat kota tuan rumah lain mencapai suhu mirip Tokyo, mereka memiliki musim panas yang panas dan kering, bukan panas dan lembab.
Menurutnya, hal ini memunculkan risiko sengatan panas atau heatstroke. Sialnya, gejala khas masalah ini juga cukup sulit dibedakan dengan COVID-19.
"Jika ada sejumlah orang yang mengalami heatstroke, saya sangat khawatir bagaimana mereka akan diperlakukan kata Makoto. "Dan saya tidak berpikir kita memiliki kapasitas untuk mengobati sejumlah besar orang-orang itu."
(Dio/Isk)