Liputan6.com, Jakarta - Ingin melindungi smartphone kamu dari hacker? Menurut National Security Agency (NSA), satu trik sederhana yang hanya memakan waktu sekitar satu menit adalah dengan mematikan ponsel dan kemudian menghidupkannya kembali.
Mengutip Ubergizmo, Rabu (3/8/2021), teknik yang pada dasarnya adalah me-restart atau rebooting smartphone ini didasarkan pada panduan "Praktik Terbaik Perangkat Seluler" yang dirilis NSA tahun lalu.
Baca Juga
Meskipun ini bukan obat mujarab untuk semua upaya peretasan, namun me-reboot smartphone bisa membantu kamu menggagalkan serangan yang mengandalkan in-memory payloads. Itu adalah teknik yang kerap dieksploitasi oleh beberapa hacker.
Advertisement
Namun sayangnya, tidak banyak orang yang melakukan langkah tersebut sehingga jenis peretasan ini dapat dieksploitasi untuk jangka waktu yang lama.
Senate Intelligence Committee, Angus King, mengaku saat ini me-reboot smartphone sudah menjadi bagian dari rutinitasnya.
"Mungkin seminggu sekali (me-reboot smartphone), kapan pun saya memikirkannya," kata King sebagaimana diwartakan NBC News.
Tentu saja, ini hanyalah salah satu dari banyak cara NSA memberikan masukan kepada pengguna tentang bagaimana mereka dapat melindungi smartphone dari serangan hacker. Langkah ini diklaim layak untuk dicoba.
Â
Ponsel Selalu Jadi Target Peretasan
Ponsel selalu menjadi target utama bagi peretas yang ingin mencuri pesan teks, kontak, dan foto, serta melacak lokasi pengguna dan bahkan secara diam-diam mengaktifkan video dan mikrofon.
"Saya selalu menganggap ponsel sebagai jiwa digital kami," kata Patrick Wardle, pakar keamanan dan mantan peneliti NSA.
Jumlah orang yang ponselnya diretas setiap tahun tidak dapat diketahui, tetapi bukti menunjukkan itu signifikan.
Investigasi baru-baru ini terhadap peretasan smartphone oleh konsorsium media global telah menyebabkan kegemparan politik di Prancis, India, Hongaria, dan di tempat lain setelah para peneliti menemukan sejumlah jurnalis, aktivis hak asasi manusia, dan politisi dalam daftar bocoran tentang apa yang diyakini sebagai target potensial dari spyware buatan Israel.
Saran untuk me-reboot smartphone secara berkala diklaim bisa mencegah peretas mendapatkan akses ke perangkat seluler dan munculnya eksploitasi "zzero-click".
Itu merupakan metode serangan siber jarak jauh, yang tidak membutuhkan interaksi apapun dari korban untuk bisa melakukan pembobolan dan mengakses perangkat secara penuh.
Advertisement
Spyware Israel Retas Ratusan Smartphone Wartawan dan Pejabat Negara
Spyware besutan sebuah perusahaan Israel dilaporkan meretas smartphone milik sejumlah wartawan, pejabat pemerintah, dan aktivis hak asasi manusia di seluruh dunia. Demikian menurut penyelidikan oleh 17 organisasi media yang diterbitkan pada Minggu (18/7/2021).
The Washington Post melaporkan spyware Pegasus buatan NSO Group yang berbasis di Israel juga digunakan untuk menargetkan ponsel milik dua wanita yang dekat dengan Jamal Khashoggi, seorang kolumnis The Washington Post yang dibunuh di konsulat Saudi di Turki pada 2018, sebelum dan setelah kematiannya.
Sementara The Guardian mewartakan penyalahgunaan yang meluas dan berkelanjutan dari perangkat lunak peretasan NSO, merupakan malware yang menginfeksi smartphone untuk megekstraksi pesan, foto, dan email. Juga merekam panggilan dan diam-diam mengaktifkan mikrofon.
Sayangnya, investigasi yang tidak dikonfirmasi secara independen oleh Reuters, tidak mengungkapkan siapa yang mencoba meretas dan alasan peretasan.
Di sisi lain, sebagaimana dilansir Reuters, Senin (19/7/2021), NSO mengatakan produknya (spyware) hanya dimaksudkan untuk digunakan oleh intelijen pemerintah dan badan penegak hukum untuk memerangi terorisme dan kejahatan.
Â
Penjelasan NSO Group
Perusahaan mengeluarkan pernyataan di situs web-nya yang menyangkal pelaporan 17 mitra media yang dipimpin oleh jurnalisme nonprofit Forbidden Stories yang berbasis di Paris.
"Laporan oleh Forbidden Stories penuh dengan asumsi yang salah dan teori yang tidak didukung, juga menimbulkan keraguan serius tentang keandalan dan kepentingan sumber. Sepertinya 'sumber tak dikenal' telah memberikan informasi yang tidak memiliki dasar faktual dan jauh dari kenyataan," kata NSO dalam pernyataannya.
"Setelah memeriksa klaim mereka, kami dengan tegas menyangkal tuduhan palsu yang dibuat dalam laporan itu," sambung perusahaaan dalam pernyataan itu.
NSO juga menegaskan teknologinya tidak terkait dengan pembunuhan Khashoggi. Namun, perwakilan NSO belum memberikan informasi tambahan tentang hal itu.
Â
Advertisement
Komentar Amnesty Internastional
Sementara, kelompok hak asasi Amnesty International mengecam apa yang disebut "kurangnya regulasi" dari perangkat lunak pengawasan.
"Sampai perusahaan (NSO) dan industri secara keseluruhan dapat menunjukkan bahwa mereka mampu menghormati hak asasi manusia, harus ada moratorium segera atas ekspor, penjualan, transfer, dan penggunaan teknologi pengawasan," kata kelompok hak asasi itu dalam sebuah pernyataan.Â
Nomor telepon yang ditargetkan ada dalam daftar yang diungkapkan oleh Forbidden Stories dan Amnesty International kepada 17 organisasi media. Tetapi, belum jelas bagaimana kelompok-kelompok tersebut memperoleh data itu.
"Angka-angka dalam daftar itu tidak disertakan, tetapi wartawan mengidentifikasi lebih dari 1.000 orang yang tersebar di lebih dari 50 negara," tulis The Washington Post.
Mereka termasuk beberapa anggota keluarga kerajaan Arab, setidaknya 65 eksekutif bisnis, 85 aktivis hak asasi manusia, 189 jurnalis dan lebih dari 600 politisi dan pejabat pemerintah--termasuk beberapa kepala negara dan perdana menteri.
Â
Daftar Wartawan yang Jadi Korban
The Guardian mengatakan jumlah lebih dari 180 wartawan masuk dalam daftar, termasuk wartawan, editor dan eksekutif di Financial Times, CNN, New York Times, Economist, Associated Press, dan Reuters.
"Kami sangat sedih mengetahui bahwa dua jurnalis AP, bersama dengan jurnalis dari banyak organisasi berita, termasuk di antara mereka yang mungkin menjadi sasaran spyware Pegasus," kata Direktur Hubungan Media AP Lauren Easton.
"Kami telah mengambil langkah-langkah untuk memastikan keamanan perangkat jurnalis dan sedang menyelidikinya," tambahnya.
Juru bicara Reuters Dave Moran mengatakan, "Wartawan harus diizinkan untuk melaporkan berita demi kepentingan publik tanpa takut akan pelecehan atau bahaya, di mana pun mereka berada. Kami mengetahui laporan tersebut dan sedang menyelidiki masalah ini."
(Isk/Tin)
Advertisement