Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) turut berupaya melindungi masyarakat dari jerat fintech ilegal, termasuk pinjol ilegal.
Selain melakukan pemblokiran atau pemutusan akses terhadap aplikasi maupun layanan fintech dan pinjol ilegal, Kemkominfo juga melakukan upaya edukasi kepada masyarakat.
Advertisement
Baca Juga
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemkominfo, Semuel A. Pangerapan, turut mendorong masyarakat waspada, dengan mengenali modus pelaku penipuan online dan membiasakan diri melindungi data pribadi.
"Kemkominfo meminta masyarakat untuk mewaspadai ragam modus penipuan online yang terjadi di ruang digital," kata Semmy, dikutip dari keterangan resmi Kemkominfo, Jumat (20/8/2021).
Adapun modus penipuan online di ruang digital menurut Semmy antara lain adalah phishing, pharming, sniffing, money mule, dan social engineering.
Modus phishing, dilakukan oleh oknum yang mengaku dari lembaga resmi dengan menggunakan telepon, email, atau pesan teks.
"Seolah-olah dari lembaga resminya, namun sebenarnya mereka ingin menggali supaya korban memberikan data-data pribadi," kata Semmy.
Menurutnya, data-data pribadi yang didapatkan dari korban dipakai untuk kejahatan berikutnya. "Mereka menanyakan data-data sensitif untuk mengakses akun penting yang mengakibatkan pencurian identitas hingga kerugian," katanya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Modus Phraming Handphone
Kedua, adalah phraming handphone. Lewat modus ini, penipu mengarahkan mangsa kepada situs web palsu, di mana entri domain name system (DNS) yang ditekan atau diklik korban akan tersimpan dalam bentuk cache.
"Hal ini memudahkan pelaku mengakses perangkat secara ilegal. Misalnya pembuatan domain seolah mirip dengan domain asli, pelaku akan memasang malware agar nantinya bisa mengakses secara ilegal," katanya.
Semmy menjelaskan, kasus seperti ini banyak terjadi. Salah satu contohnya aplikasi pesan diambil alih penipu, karena pada smartphone korban sudah dipasang malware, sehingga data-data pribadi korban pun dicuri.
Ketiga, modus sniffing. Menurut Semmy, dengan modus tersebut, pelaku meretas untuk mengumpulkan informasi secara ilegal melalui jaringan yang ada para perangkat korban, kemudian, pelaku mengakses aplikasi yang menyimpan data penting pengguna.
Menurut Semmy, sniffing paling banyak terjadi akibat akses WiFi di ruang publik, terutama ketika akses WiFi umum ini digunakan untuk transaksi.
Advertisement
Modus Money Mule
Keempat adalah money mule. Semmy mengatakan, lewat penipuan jenis ini, oknum meminta korban untuk menerima sejumlah uang ke rekening dan nantinya ditransfer ke rekening orang lain.
"Kalau di luar negeri mereka berani kliring cek, kita mendapat cek, namun ketika diperiksa ternyata cek tersebut bodong. Begitu kita masukkan, kalau di sana (luar negeri) prosesnya masuk itu muncul dulu di rekening kita, kalau ternyata tidak clearing, dipotong. Lalu, jika sudah digunakan harus dikembalikan," ujar Semmy memberikan penjelasan.
Di Indonesia, biasanya pelaku meminta calon korban untuk membayar pajak terlebih dahulu.
"Money mule biasanya ditanyakan pelaku dengan calon korban, mau hadiahnya dikirim dahulu atau pajaknya dikirim dahulu," katanya.
Semmy memperingatkan agar masyarakat berhati-hati karena money mule digunakan untuk money laundry atau pencucian uang. "Kamu akan saya kirim uang, tapi harus transfer balik ke rekening lain. Ini marak dan perlu diwaspadai," tutur Semmy.
Modus Social Engineering
Modus kelima, social engineering. Modus ini memanfaatkan manipulasi psikologis korban, sehingga mereka tidak sadar memberikan informasi penting dan sensitif yang dimiliki.
"Misalnya pelaku mengambil OTP atau password karena sudah memahami perilaku targetnya. Masyarakat seringkali tidak sadar sudah membagikan data-data yang harusnya perlu dijaga," kata Semmy.
Penipuan online makin marak terjadi karena banyaknya pengguna internet. Kini di Indonesia sudah ada 202,6 juta pengguna internet.
"Dari jumlah itu, 170 juta jiwa atau 87 persen menggunakan aplikasi pesan WhatsApp, 85 persen mengakses Instagram dan Facebook dengan rata-rata penggunaan 8 jam 52 menit sehari," katanya.
Advertisement
Pengguna Diajak Jaga Data Pribadi
Karena lamanya berada di dunia maya, Semmy menyebut organisasi perlu membuat SOP yang ketat, selain mempersiapkan teknologi dan pengamanan data, juga perlu memperkuat sumber daya manusia di organisasi untuk menerapkan budaya data privacy.
Bagi pengguna internet, Semmy mengingatkan agar mereka membuat password akun yang tidak bisa ditebak orang lain. Selain itu ia menyarankan pengguna selalu memperbarui password dan update software.
Pasalnya update software biasanya menutup lubang keamanan dan meningkatkan fitur. Sehingga memperkecil kemungkinan penjahat siber masuk dan mengambil data.
(Tin/Isk)
Â
Infografis Pinjol Menjamur, Utang Menumpuk
Advertisement