Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah jaksa agung negara bagian menggemakan pertempuran Epic dan Apple. Para jaksa ini juga melayangkan gugatan monopoli kepada Google dengan Google Play Store-nya.
Tidak hanya itu, terdapat pula dokumen baru yang menyoroti kemiripan toko aplikasi Google dan Apple, dalam hal aturan pada pengembang aplikasi.
Seorang koresponden senior MLex, Michael Acton, juga menunjukkan keluhan baru dalam gugatan class action, gabungan dengan negara bagian dan Epic Games. Gugatan tersebut menuding Google telah menyalahgunakan kekuatan monopoli dan perilaku anti-kompetitif.
Advertisement
Baca Juga
Bentuk monopoli yang dianggap paling jelas adalah, layanan streaming berlangganan populer seperti Spotify, Netflix, dan Tinder mendapatkan perlakuan istimewa dari Google terkait Penagihan Google Play dan potongan komisi 30 persen.
Sekadar informasi, Netflix dan Spotify menawarkan langganan dengan mengizinkan pelanggan memasukkan nomor kartu kredit di aplikasi, untuk penagihan. Padahal jika menerapkan asas yang sama seperti pada pengembang lain, harusnya berlangganan Netflix dan Spotify langsung via Google Play Billing.
Para pengacara pun menuding Google menawarkan "pengurangan signifikan atas bagi hasil" kepada Netflix dkk. Tujuan Google adalah untuk menekan keinginannya menggunakan sistem pembayaran alternatif.
Pihak Google dikabarkan mengunggah klarifikasi, menjelaskan bahwa aplikasi Play Store harus menggunakan sistem penagihan Google. Google juga menyebut mereka memberi waktu satu tahun kepada Netflix dan Spotify untuk berubah.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pernyataan dari Google
Hal ini dinilai mirip dengan persidangan antara Epic Games dan Apple. Email Apple memperlihatkan bahwa pihaknya menawarkan serangkaian pemanis untuk menjaga agar Netflix tetap menggunakan sistem in-app-purchase.
Dalam pernyataan pada The Verge yang dikutip Minggu (29/8/2021)Â juru bicara Google mengatakan, "semua pengembang merupakan subjek dari peraturan dan harus tunduk kepada kebijakan yang sama, termasuk kebijakan pembayaran."
Juru bicara itu mengatakan, Google telah memiliki program pendukung pengembang dengan jumlah investasi yang besarannya ditingkatkan. Program-program ini dianggap sebagai tanda persaingan sehat antara sistem operasi dengan toko aplikasi dan menguntungkan pengembang.
Upaya ini masih diperdebatkan karena Google dituding menggunakan cara yang sama dengan Apple, termasuk memotong komisi yang harus dibayarkan pengembang kepada pihaknya, sebesar 15 persen.
Sebelumnya, nilai komisi yang harus dibayarkan pengembang pada Google Play Store adalah 30 persen. Hal ini menjadi bahan gugatan, sementara pihak Google memandangnya sudah impas.
Disebutkan, Play Store menghasilkan total USD 11,2 miliar pada 2019 dengan laba kotor USD 8,5 miliar dan pendapatan operasional USD 7 miliar.
Â
Advertisement
Google: Play Store Tawarkan Keterbukaan
Atas tudingan monopoli dan antikompetisi, Google mengatakan, Play Store menawarkan keterbukaan dan pilihan, "Apalagi di Android pengguna bisa memilih untuk mengunduh aplikasi dari toko aplikasi saingan atau via situs resmi."
Namun muncul lagi tanggapan bahwa Google dan vendor smartphone Android melakukan monopoli dalam hal perjanjian bahwa smartphone Android wajib menghadirkan aplikasi seperti Google Search, Gmail, dan Google Maps.
Selain itu, seperti Apple, Google Play Developer Distribution Agreement juga melarang pengembang memakai informasi pribadi tentang kustomer yang diperoleh dari Google Play untuk menjangkau mereka secara pribadi. Informasi yang dimaksud meliputi alamat email atau kontak lainnya.
Oleh karenanya, menurut gugatan pada Google, sangat tidak mungkin pengembang mengontak langsung konsumen untuk menawarkan alternatif dari Google Play Store.
(Tin/Ysl)
Â