Liputan6.com, Jakarta - Twitter telah menghapus secara permanen 3.400 akun terkait dengan atau disponsori oleh pemerintah di enam negara, seperti Tiongkok, Meksiko, Rusia, Tanzania, Uganda, dan Venezuela.
Diketahui, akun-akun Twitter tersebut telah melakukan atau menjalankan berbagai manipulasi dan menyebarkan pesan spam pro-pemerintah di negara-negara tersebut.
Baca Juga
Dengan cara ini, pemerintah sering menyebarkan informasi untuk mempengaruhi publik tentang isu politik atau ke arah pemikiran tertentu.
Advertisement
Dikutip dari BleepingComputer, Jumat (3/11/2021), dari enam negara yang menggunakan akun palsu untuk kampanye mereka, Tiongkok memiliki jumlah akun palsu terbesar.
Twitter mengatakan, lebih dari 2.000 akun digunakan untuk menyebarkan narasi Partai Komunis China terkait dengan perlakuan terhadap penduduk Uyghur di Xinjiang.
Situs microblogging itu juga menemukan, ada 112 akun lain yang terhubung dengan perusahaan swasta bernama Changyu Culture--didukung oleh otoritas regional di Xinjiang.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Negara Lainnya
Sementara , Twitter juga mendapati pemerintah Uganda telah menggunakan lebih dari 400 profil palsu untuk mendukung presiden negara saat ini dan partainya, Gerakan Perlawanan Nasional (NRM).
Selain itu, ada 277 akun yang mempromosikan akun dan tagar lain terkait dengan dukungan kegiatan, topik, dan pernyataan tertentu dari pemerintah Venezuela.
Twitter mengatakan, ada 276 akun palsu membagikan "primarily civic content" untuk mendukung tindakan pemerintah Meksiko terkait kesehatan masyarakat dan partai politik.
Â
Advertisement
Sudah Bagikan ke Organisasi Penelitian Terkenal
Di Tanzania, 268 akun digunakan pemerintah untuk pelaporan palsu ​​dari anggota dan pendukung publikasi jurnalisme investigasi Fichua Tanzania dan pendirinya.
Anehnya, Twitter hanya menemukan 66 akun--baik palsu maupun asli--terkait dengan operasi Rusia yang menargetkan individu di Afrika Tengah dan Libya.
Platform media sosial tersebut mengatakan, rincian tentang kampanye dan akun terkait telah dibagikan dengan tiga organisasi penelitian terkemuka: Australian Strategic Policy Institute (ASPI), Cazadores de Fake News, dan Stanford Internet Observatory (SIO).
(Ysl/Isk)