Liputan6.com, Jakarta - Platform pertukaran kripto, BitMart, mengumumkan telah mengalami pelanggaran keamanan skala besar, di mana peretas telah mencuri kripto senilai US$ 150 juta (sekitar Rp 2,1 triliun) hingga US$ 200 juta (sekitar Rp 2,8 triliun).
Perusahaan mengungkapkan pelanggaran ini disebabkan oleh privat keys yang dicuri dengan dua hot wallets yang telah disusupi. Demikian sebagaimana dilansir Ubergizmo, Rabu (8/12/2021).
Baca Juga
Pun demikian, BitMart mengklaim aset lainnya aman. Mereka akan menggunakan dana perusahaan untuk menutupi insiden tersebut dan memberi kompensasi kepada pengguna yang terdampak.
Advertisement
"Kami akan menggunakan dana kami sendiri untuk menutupi insiden tersebut dan memberikan kompensasi kepada pengguna yang terkena dampak. Kami juga berbicara dengan beberapa tim proyek untuk mengonfirmasi solusi yang paling masuk akal seperti pertukaran token. Tidak ada aset pengguna yang akan dirugikan," ucap BiltMart.
BitMart menambahkan telah melakukan yang terbaik untuk memulihkan pengaturan keamanan dan operasi perusahaan agar tak lagi ditembus hacker.
"Kami membutuhkan waktu untuk membuat pengaturan yang tepat. Kami sangat penghargai pengertian Anda selama ini," perusahaan memungkaskan.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
iPhone Milik 9 Diplomat AS Diretas Pakai Software Mata-Mata Milik NSO
Masih berkaitan dengan isu keamanan siber, iPhone milik sembilan diplomat US State Department (Deplu AS) terinfeksi oleh malware berbahaya yang dikembangkan oleh NSO Group.
NSO Group dikenal sebagai pembesut software mata-mata (spyware) asal Israel yang produknya kerap dipakai oleh pemerintah negara-negara tertentu untuk mengawasi banyak pihak, termasuk aktivis, pejuang HAM, jurnalis, dan lain-lain.
Mengutip Arstechnica, Selasa (7/12/2021), diplomat AS yang jadi sasaran adalah yang ditempatkan di Uganda atau berfokus pada masalah terkait negara tersebut.
Mereka menerima peringatan yang datang dari Apple, isi peringatannya memberi tahu iPhone mereka jadi sasaran hacker.
Mengutip sejumlah pihak yang disebut-sebut tahu tentang masalah ini, peretas menggunakan software dari NSO Group.
Seorang juru bicara NSO dalam pernyataan mengatakan, setelah mengetahui kabar yang beredar melalui Reuters, perusahaan menghentikan akses pelanggan yang bertanggung jawab ke sistemnya dan menyelidiki masalah tersebut.
"Selain penyelidikan independen, NSO akan bekerja sama dengan otoritas pemerintah terkait dan menyajikan informasi lengkap yang akan kami miliki. Agar jelas, instalasi software kami oleh pelanggan terjadi melalui nomor telepon," kata si juru bicara dalam pernyataan.
Dikatakan lebih lanjut oleh si juru bicara, teknologi NSO diblokir untuk bekerja pada nomor telepon asal AS (nomor dengan kode +1).
Advertisement
Mengelak Tahu Tentang Peretasan Diplomat AS
"Setelah software dijual kepada pelanggan berlisensi, NSO tidak memiliki cara untuk mengetahui siapa target pelanggan. Oleh karena itu, kami tidak mungkin mengetahui kasus ini," kata juru bicara, seolah mengelak bahwa NSO terlibat dalam serangan kepada sembilan diplomat.
Lebih lanjut menurut laporan Reuters, iPhone milik diplomat AS yang ditarget semuanya terdaftar menggunakan nomor luar negeri.
Serangan ini dianggap sebagai serangan kepada orang yang bekerja di bawah pemerintah AS lantaran semua Apple ID korban tertaut dengan alamat email dengan akhiran state.gov.
"Tindakan yang diambil terhadap para diplomat Deplu AS mewakili peretasan pejabat AS melalui teknologi NSO," tulis Reuters dalam laporannya.
Sebelumnya, perangkat lunak besutan NSO, Pegasus, menggunakan eksploitasi yang dikirim melalui aplikasi perpesanan yang kemudian menginfeksi iPhone atau Android tanpa si pengguna harus mengklik atau melakukan tindakan lain.
Pegasus
Dari situ, perangkat menjalankan malware yang sulit dideteksi, bisa mengunduh foto, kontak, pesan teks, dan data-data lainnya. Pegasus juga memungkinkan operatornya mendengarkan audio dan melihat video yang ada di dalam smartphone korban secara realtime.
NSO telah sejak lama mendapat kecamatan dari banyak pihak karena menjual produk software mata-mata ini ke pemerintah yang memusuhi jurnalis dan pembangkang.
Facebook menggugat NSO Group pada 2019, setelah Pegasus diketahui menggunakan celah pada WhatsApp untuk menginfeksi iPhone milik 36 jurnalis.
Sementara belum lama ini, Apple juga menggugat NSO Group setelah Pegasus dipakai untuk menginfeksi 37 iPhone milik jurnalis, aktivis HAM, dan eksekutif bisnis.
Kritikus menyebut, target tidak memenuhi kriteria yang menurut NSO butuh diincar spyware yang kuat untuk meretasnya. Sementara, bulan lalu, Departemen Perdagangan AS melarang ekspor, re-ekspor, dan transfer teknologi NSO di dalam negeri.
Advertisement