Sukses

TikTok Digugat karena Dianggap Gagal Lindungi Kesehatan Mental Moderator Konten

Mantan moderator untuk TikTok menggugat ByteDance karena perusahaan tersebut dianggap telah gagal melindungi kesehatan mental para moderator yang bekerja memoderasi konten di platformnya.

Liputan6.com, Jakarta - Mantan moderator konten melayangkan gugatan terhadap TikTok. Dia menuding perusahaan induk TikTok, ByteDance, tidak menyediakan perlindungan yang memadahi untuk melindungi kesehatan mental para moderator dari rasa trauma akibat menyaksikan konten kekerasan berkali-kali.

Dalam gugatan class action yang diajukan di Pengadilan Distric Pusat California, mantan moderator bernama Candie Frazier mengatakan, ia menghabiskan 12 jam sehari memoderasi video yang diunggah di platform TikTok. Ia bekerja untuk perusahaan kontraktor pihak ketiga bernama Telus International.

Frazier mengatakan dirinya, "Menyaksikan ribuan tindakan kekerasan ekstrim dan grafis, termasuk penembakan massal, pemerkosaan anak, mutilasi hewan, kanibalisme, pembunuhan anggota geng, hingga genosida."

Frazier menyebut, untuk menghadapi volume besar konten yang diunggah ke TikTok tiap harinya, dia dan rekan moderatornya harus menonton antara tiga hingga 10 video secara bersamaan. Setidaknya tiap video dimuat setiap 25 detik.

Parahnya, para moderator hanya boleh beristirahat satu kali dengan durasi 15 menit, dalam empat jam pertama shift mereka. Selanjutnya ada juga istirahat tambahan 15 menit tiap dua jam setelahnya.

Gugatan hukum itu mengatakan, ByteDance memantau kinerja dengan cermat dan memberikan hukuman berat tiap ada waktu yang tidak digunakan dengan maksimal.

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

TikTok Gagal Penuhi Standar Perlindungan Pada Para Moderator

Gugatan ini juga menyatakan, TikTok dan mitranya telah gagal memenuhi standar yang dimaksudkan untuk mengurangi bahaya moderasi konten. Dalam standar yang berlaku, setidaknya perusahaan yang mempekerjakan moderator harus menawarkan jeda lebih sering pada para moderator.

Selain itu perusahaan juga perlu menawarkan dukungan psikologis dan perlindungan teknis, seperti mengaburkan atau mengurangi resolusi video yang tengah ditinjau.

"Saya menderita trauma psikologis yang parah, termasuk depresi dan gejala yang berhubungan dengan kecemasan dan PTSD sebagai imbas dari pekerjaan (moderasi)," kata Frazier dalam gugatan.

Lebih lanjut, gugatan juga menyatakan, Frazier sulit tidur. Ketika tidur, ia kerap mengalami mimpi buruk yang mengerikan.

3 dari 3 halaman

Masih Terbayang-bayang Video Kekerasan

Ia juga mengaku sering terbangun di malam hari dan mencoba untuk tidur lagi. Namun di benaknya hanya membayangkan video-video traumatis yang pernah disaksikannya. Dokumen ini menyebut, Frazier mengalami serangan panik yang parah dan melemahkan.

Perlu diketahui, kesaksian dalam gugatan Frazier ini sesuai dengan laporan moderator konten yang bekerja (biasanya secara tidak langsung) untuk perusahaan teknologi besar lainnya. Misalnya moderator Facebook, YouTube, dan Google.

Selama beberapa tahun terakhir, kondisi kerja yang buruk dihadapi oleh para moderator ini. Padahal, mereka merupakan tenaga kerja yang sangat penting dalam upaya menjaga profitabililtas sejumlah perusahaan terbesar di dunia.

Laporan atau gugatan hukum seperti yang dilayangkan Frazier memperlihatkan bahwa kondisi pekerjaan sebagai seorang moderator konten masih sangat menantang dan butuh perhatian ekstra.

(Tin/Ysl)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.