Liputan6.com, Jakarta - Indonesia telah mematok net zero emission dapat tercapai 2060. Namun untuk saat ini, bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) baru mencapai 12,7 persen, sehingga perlu usaha maksimal untuk mengejar target EBT sebesar 23 persen di 2030.
Untuk mendukung upaya tersebut, BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) pun memberikan delapan rekomendasi kebijakan pemerintah untuk mencapai NZE. Rekomendasi ini diberikan saat webinar nasional bertajuk Transisi Energi: Menuju Pembangunan Berkelanjutan.
Baca Juga
Menurut peneliti ahli utama, Organisasi Riset Energi dan Manufaktur BRIN, Eniya Listiani Dewi, rekomendasi pertama yang diajukan adalah menggenjot program bahan bakar nabati B30, B50, B100, D100, dan jenis bahan bakar lain.
Advertisement
Rekomendasi kedua adalah melakukan cofiring untuk menggantikan pembangkit listrik tenaga uap yang ada. "Biasanya berbasis biomassa, tetapi sekarang sudah mulai berbasis hidrogen," tuturnya seperti dikutip dari situs resmi BRIN, Sabtu (19/2/2022).
Lalu, rekomendasi lain adalah implementasi pengelolaan limbah menjadi bahan bakar (refuse derived fuel/RDF). Keempat, rekomendasi yang diberikan adalah program de-dieselisasi atau menggantikan pembangkit diesel dengan EBT, seperti panas bumi, biogas, maupun biomassa.
"Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) teknologi panas bumi kita bahkan sudah mencapai 65 persen. Namun, untuk ranah hilirisasi inovasi perlu dibantu dengan kebijakan maupun dorongan investasi dan industri," tutur Eniya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Rekomendasi Kebijakan Lain
Kelima, rekomendasi BRIN adalah pengembangan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon untuk utilisasi maupun industri. Keenam, pemanfaatan hidrogen biru dan hijau untuk keperluan utilisasi serta industri petrokimia.
Menurut Eniya, industri petrokimia harus mulai melihat potensi hidrogen biru dan hijau, termasuk potensi amonia menjadi energi baru. Ketujuh, pengembangan kendaraan listrik berbasis baterai dan sel bahan bakar.
Terakhir, rekomendasi yang diberikan adalah transmisi interkoneksi dengan menggunakan pembangkit listrik tenaga surya atap (pv roof top), pembangkit listrik tenaga surya terapung (floating PV), jaringan pintar (smart grid), serta electro-mobiilty (e-mobility).
Advertisement
Transisi Energi Diharapkan Bisa Bangun Resiliensi Masyarakat
Sementara Peneliti Ahli Utama, Organisasi Riset Tata Kelola Pemerintahan, Ekonomi, dan Kesejahteraan Masyarakat BRIN, Maxensius Tri Sambodo menuturkan, transisi energi tidak semata-mata beralih dari energi fosil ke EBT.
Namun menurutnya, pemangku kebijakan juga harus memerhatikan transisi energi ini dapat membangun resilisensi di tengah masyarakat. “Artinya jangan sampai masa transisi energi ini banyak hal yang dikorbankan," tuturnya.
Ia menuturkan, masyarakat dunia saat ini sedang dalam mencari posisi keseimbangan. Sebab, selama dua dekade terakhir, pembangkit batubara telah memberikan banyak manfaat dalam memperbaiki posisi ketahanan energi di Indonesia.
Terlebih, Indonesia saat ini masih mendorong peningkatan akses listrik masyarakat yang lebih memadai dan berkualitas. Meski data Kementerian ESDM menunjukkan rasio elektrifikasi Indonesia mencapai lebih dari 99 persen dari listrik PLN, tapi ada 1,8 juta lebih rumah tangga mendapatkan listrik bukan dari PLN.
Oleh sebab itu, menurut Maxensius, hal ini menjadi tantangan bagi periset sosial agar bisa mendesain transisi energi agar tercipta masyarakat yang adil dan makmur.
(Dam/Ysl)